Selamat Datang di Blog PMII RAYON FKIP Uninus

PARADIGMA KRITIS TRANSFORMATIF

OPERASIONALISASI PARADIGMA KRITIS TRANSFORMATIF
[ANALISIS TEORETIK DALAM PERPEKTIF 
TEORI PERUBAHAN SOSIAL DAN TEORI REVOLUSI SOSIAL]
Oleh: Nur Sayyid Santoso Kristeva, M.A.
Alumnus UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta & Pascasarjana Sosiologi Fisipol UGM,
Kader Kultural PMII Daerah Istimewa Jogjakarta. 085 647 634 312/ nuriel.ugm@gmail.com
Prawacana
Paradigma merupakan sesuatu yang vital bagi pergerakan organisasi, karena paradigma merupakan titik pijak dalam membangun konstruksi pemikiran dan cara memandang sebuah persoalan yang akan termanifestasikan dalam sikap dan dan perilaku organisasi. Disamping itu, dengan paradigma ini pula sebuah organisasi akan menetukan dan memilih nilai-nilai yang universal dan abstrak menjadi khusus dan praksis operasional yang akhirnya menjadi karakteristik sebuah organisasi dan gaya berpikir seseorang. 

Organisasi PMII selama ini belum memiliki paradigma yang secara definitive menjadi acuan gerakan. Cara pandang dan bersikap warga pergerakan selama ini mengacu pada nilai dasar pergerakan (NDP). Karena tidak mengacu pada kerangka paradigmatik yang baku, upaya merumuskan dan membnagun kerangka nilai yang dapat diukur secara sistematis dan baku, sehingga warga pergerakan sering dihadapkan pada berbagai penafsiran atas nilai-nilai yang menjadi acuan yang akhirnya berujung pada terjadinya keberagaman cara pandang dan tafsir atas nilai tersebut. Namun demikian, dalam masa dua periode kepengurusan terakhir (sahabat Muhaimin Iskandar dan sahabat Saiful Bachri Anshori) secara factual dan operasional ada karakteristik tertentu yang berlaku dalam warga pergerakan ketika hendak melihat, menganalisis, dan menyikapi sebuah persoalan, yaitu sikap kritis dengan pendekatan teorti kritis. Dengan demikian secara umum telah berlaku paradigma kritis dalam tubuh warga pergerakan. Sikap seperti ini muncul ketika PMII mengusung sejumlah gagasan mengenai demokratisasi, civil society, penguatan masyarakat dihadapan negara yang otoriter, sebagai upaya aktualisasi dan implementasi atas nilai-nilai dan ajaran kegamaan yang diyakini.
Pengertian Paradigma dalam khazanah ilmu sosial, ada beberapa pengertian paradigma yang dibangun oleh oleh para pimikir sosiologi. Salah satu diantaranya adalah G. Ritzer yang memberi pengertian paradigma sebagai pandangan fundamental tentang apa yang menjadi pokok persoalan dalam ilmu. Paradigma membantu apa yang harus dipelajari, pertanyaan yang harus dijawab, bagaimana semestinya pertanyaan-pertanyaan itu diajukan dan aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh. Paradigma merupakan kesatuan consensus yang terluas dalam suatu bidang ilmu dan membedakan antara kelompok ilmuwan. Menggolongkan, mendefinisikan dan yang menghubungkan antara eksemplar, teori, metode serta instrumen yang terdapat di dalamnya. 
Mengingat banyaknya difinisi yang dibentuk oleh para sosiologi, maka perlu ada pemilihan atau perumusan yang tegas mengenai definisi paradigma yang hendak dimabil oleh PMII. Hal ini perlu dilakukan untuk memberi batasan yang jelas mengenai paradigma dalam pengertian komunitas PMII agar tidak terjadi perbedaan persepsi dalam memaknai paradigma. Berdasarkan pemikiran dan rumusan yang disusun oleh para ahli sosiologi, maka pengertian paradigma dalam masyarakat PMII dapat dirumuskan sebagai titik pijak untuk menentukan cara pandang, menyusun sebuah teori, menyusun pertanyaan dan membuat rumusan mengenai suatu masalah. 
Lewat paradigma ini pemikiran seseorang dapat dikenali dalam melihat dan melakukan analisis terhadap suatu masalah. Dengan kata lain, paradigma merupakan cara dalam “mendekati”obyek kajianya (the subject matter of particular dicipline) yang ada dalam ilmu pengetahuan. Orientasi atau pendekatan umum (general orientations) ini didasarkan pada asumsi-asumsi yang dibangun dalam kaitan dengan bagaimana “realitas” dilihat. Perbedaan paradigma yang digunakan oleg seseorang dalam memandang suatu masalah, akan berakibat pada timbulnya perbedaan dalam menyusun teori, membuat konstruk pemikiran, cara pandang, sampai pada aksi dan solusi yang diambil. Pilihan Paradigma PMII disamping terdapat banyak pengertian mengenai paradigma, dalam ilmu sosial ada berbagai macam jenis paradigma. Melihat realitas yang ada di masyarakat dan sesuai dengan tuntutan keadaan masyarakat PMII baik secara sosiologis, politis dan antropologis maka PMII memilih paradigma kritis-transformatif sebagai pijakan gerakan organisasi.

Paradigma Kritis-Transformatif PMII
Dari penelusuran yang cermat atas paradigma kritis, terlihat bahwa paradigma kritis sepenuhnya merupakan proses pemikiran manusia. Dengan demikian ia adalah secular. Kenyataan ini yang membuat PMII dilematis, karena akan mendapat tuduhan secular jika pola pikir tersebut diberlakukan. Untuk menghindari tudingan tersebut, maka diperlukan adanya reformulasi penerapan paradigma kritis dalam tubuh warga pergerakan. Dalam hal ini, paradigma kritis diberlakukan hanya sebatas sebagai kerangka berpikir dan metode analisis dalam memandang persoalan. Dengan sendirinya ia harus diletakkan pada posisi tidak diluar dari ketentuan agama, sebaliknya justru ingin mengembalikan dan memfungsikan ajaran agama yang sesungguhnya sebagaimana mestinya. Dalam hal ini penerapan paradigma kritis bukan menyentuh pada hal-hal yang sifatnya sacral, tetapi pada pesoalan yang profan. 
Lewat paradigma kritis di PMII berupaya menegakkan sikap kritis dalam berkehidupan dengan menjadikan ajaran agama sebagai inspirasi yang hidup dan dinamis. Sebagaimana dijelaskan di atas, pertama, paradigma krirtis berupaya menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan dari berbagai belenggu yang diakibatkan oleh proses sosial yang bersifat profan. Kedua, paradigma kritis melawan segala bentuk dominasi dan penindasan. Ketiga, paradigma kritis membuka tabir dan selubung pengetahuan yang munafik dan hegemonic. Semua ini adalah semangat yang dikandung oleh Islam. Oleh karenanya, pokok-pokok pikiran inilah yang dapat diterima sebagai titik pijak paradigma kritis di kalangan warga PMII. Contoh yang paling konkrit dalam hal ini bisa ditunjuk pola pemikiran yang menggunakan paradigma kritis dari berbagai intelektual Islam diantaranya: 

Hassan Hanafi
Penerapan paradigma kritis oleh Hasan Hanafi ini terlihat jelas dalam konstruksi pemikiranya terhadap agama. Dia menyatakan untuk memperbaharui masyarakat Islam yang mengalami ketertingalan dalam segala hal, pertama-tama diperlukan analisis sosial. Menurutnya selama ini Islam mengandalkan otoritas teks kedalam kenyataan. Dia menemukan kelemahan mendasar dalam metodologi ini. pada titik ini dia memberikan kritik tajam terhadap metode trandisional teks yang telah mengalami ideologis. Untuk mengembalikan peran agama dalam menjawab problem sosial yang dihadapi masyarakat, Hasan Hanafi mencoba menggunakan metode “kritik Islam” yaitu metode pendefinisian realitas secara kongkret untuk mengetahui siapa memiliki apa, agar realitas berbicara dengan dirinya sendiri. Sebagai realisasi dari metode ini, dia menawarkan “desentralisasi Ideologi” dengan cara menjalankan teologi sebagai antropologi. Pikiran ini dimaksudkan untuk menyelamatkan Islam agar tidak semata-mata menjadi sistem kepercayaan (sebagai teologi parexellence), melainkan juga sebagai sistem pemikiran. Usaha Hasan Hanafi ini ditempuh dengan mengadakan rekontruksi terhadap teologi tradisional yang telah mengalami pembekuan dengan memasukkan hermeneutika dan ilmu sosial sebagai bagian integral dari teologi. Untuk menjelaskan teologi menjadi antropologi, Hanafi memaknai teologi sebagai Ilmu Kalam. Kalam merupakan realitas menusia sekaligus Ilahi. Kalam bersifat manusiawi karena merupakan wujud verbal dari kehendak Allah kedalam bentuk manusia dan bersifat Ilahi karena datang dari Allah. 
Dalam pemikiran Hanafi, kalam lebih besifat “praktis” dari pada “logis”, karena kalam sebagi kehendak Allah-memiliki daya imperaktif bagi siapapun kalam itu disampaikan. Pandangan Hanafi tentang teologi ini berbeda dengan teologi Islam yang secara tradisional dimengerti sebagai ilmu yang berkenaan dengan pandangan mengenai akidah yang benar. Mutakallimin sering disebut sebagai “ahl al-ra’yu wa al-nadaar” yang muncul untuk menghadapi “ahl-albid’ah” yang mengancam kebenaran akidah Islam. Dua kelompok ini akhirnya berhadapan secara dialektis. Akan tetapi dialektika mereka bukanlah dialektika tindakana, tetapi dialektika kata-kata. Gagasan teologi sebagai antropologi yang disampaikan oleh Hasan Hanafi sebenarnya justru ingin menempatkan ilmu kalam sebagai ilmu tentang dialektika kepentingan orang-orang yang beriman dalam masyarakat tertentu. Dalam pemikiran Hassan Hanafi, ungkapan “teologi menjadi antropologi” merupakan cara ilmiah untuk mengatasi ketersinggungan teologi itu sendiri. Cara ini dilakukan melalui pembalikan sebagaimana pernah dilakukan oleh Karl Marx terhadap filasafat Hegel. Upaya ini tampak secara provokatif dalam artikelnya “ideologi dan pembangunan “lewat sub-judul; dari tuhan ke bumi, dari keabadian ke waktu, dari taqdie ke hendak bebas, dan dari otoritas ke akal, dari teologi ke tindakan, dari kharisma ke partisipasi massa, dari jiwa ke tubuh, dari eskatologi ke futurology. 

Mohammad Arkoun
Arkoun menilai bahwa pemikiran Islam, kecuali dalam beberapa usaha pembaharuan kritis yang bersifat sangat jarang dan mempunyai ruang perkembangan yang sempit sekali, belum membuka diri pada kemodernan pemikiran dan karena itu tidak dapat menjawab tantangan yang dihadapi umat muslim kontemporer. Pemikiran Islam dianggapnya “naif” karena mendekati agama atas dasar kepercayaan langsung tanpa kritik. Pemikiran Islam tidak menyadari jarak antara makna potensial terbuka yang diberikan wahyu Ilahi dan aktualisasi makna itu dalam sejumlah makna yang diaktualisasikan dan dijelmakan dalam berbagai cara pemahaman, penceritaan dan penalaran khas masyarakat teetentu ataupun dalam berbagai wacana khas ajaran teologi dan fiqh tertentu. Pemikiran Islam juga tidak menyadari bahwa dalam proses itu bukan hanya pemahaman dan penafsiran tertentu ditetapkan dan diakui, melainkan pemahaman dan penafsiran lain justru disingkirkan. Hal-hal itu baru didalami oleh berbagai ilmu pengetahuan modern, yang ingin dimasukkan arkoun ke dalam pemikiran Islam.Karena krituknya terlalu krirtis ini, Arkoun sering memberikan jawaban diluar kelazimanumat Islam (Uncommon Answer) ketika menjawab problem-prolem kehidupan yang dialami umat Islam. Jawaban seperti inu terlihat jelas dalam penerapan teori pengetahuan (theory of knowledge).
Teori pengetahuan ini meliputi landasan epistimpologi kajian tentang studi–studi agama Islam. Dalam hal ini Arkoun membedakan wacana ideologis, wacana rasional, dan wacana profetis. Setiap wacana memiliki watak yang berbeda sehingga diperlukan kesesuaian dengan wataknya. Selama ini orang dengan mudah menyatakan melakukan kajian secara ilmiah, akan tetapi itu tidak hanya dilakukan oleh orang-orang muslim, melainkan juga oleh orang-orang barat yang mengideologikan sikap mereka dalam memandang Islam. Salah satu corak ideologi adalah unsur kemadegan (tidak dinamis), resistensi (tidak kritis) dan demi kekuatan (tidak transformatif). Untuk merealisasikan jawaban tersebut Arkoun berusaha meletakkan dogma, interpretasi dan teks secara proporsional. Upaya ini dilakukan untuk membuka dialog terus-menerus antara agama dengan realitas untuk menentukan wilayah-wilayah mana dari agama yang bisa didialogkan dan diinterpretasikan sesuai dengan konteksnya. Kedua pola pikir dari intelektaual Islam di atas merupakan sedikit contoh yang bisa dijadikan model bagaimana paradigma kritis diberlakukan dalam wilayah pemikiran keagamaan. 
Disamping kedua pemikir Islam diatas sebenarnya masih banyalk pemikir lain yang menerapkan pemikiran kritis dalam mendekati agama, misalnya Abdullah Ahmed An-naim, Asghar Ali Enggineer, Thoha Husein, dan sebagainya. Dari kedua contoh diatas terlihat bahwa paradigma kritis sebenarnya berupaya membebaskan manusia dengan semangat dan ajaran agama yang lebih fungsional. Dengan kata lain, kalau paradigma kritis Barat berdasarkan pada semangat revolusioner sekuler dan dorongan kepentingan sebagai dasar pijakan, maka paradigma kritis PMII justru menjadikan nilai-nilai agama yang terjebak dalam dogmatisme itu sebagai pijakan untuk membangkitkan sikap kritis melawan belenggu yang kadang disebabkan oleh pemahaman yang distortif.Jelas ini terlihat ada perbedaan yang mendasar penerapan paradigma kritis antara barat dengan Islam (yang diterapkan PMII). Namun demikian harus diakui adanya persamaan antara keduanya yaitu dalam metode analisa, bangunan teoritik dan semangat pembebasan yang terkandung didalamnya. Jika paradigma kritis ini bisa diterapkan dikalangan warga pergerakan, maka kehidupan keagamaan akan berjalan dinamis, berjalanya proses pembentukan kultur demokratis dan penguatan civil society akan segera dapat terwujud. Dan kenyataan ini terwujud manakala masing-masing anggota PMII memahami secara mendalam pengertian, kerangka paradigmatic dan konsep teoritis dari paradigma kritis yang dibangun oleh PMII. Dalam pandangan PMII, paradigma kritis saja tidak cukup untuk melakukan transformasi sosial, karena paradigma kritis hanya berhenti pada dataran metodologis konsepsional untuk mewujudkan masyarakat yang komunikatif dan sikap kritis dalam memandang realitas. Paradigma kritis hanya mampu menelanjangi berbagai tendensi ideologi, memberikan perspektif kritis dalam wacana agama dan sosial, namun ia tidak mampu memberikan perspektif perubahan pasca masyarakat terbebaskan. Pasca seseorang terbebaskan melalui perspektif kritis, paradigma kritis tidak memberikan tawaran yang praktis. Dengan kata lain, paradigma kritis hanya mampu melakukan analisis tetapi tidak mampu melakukan organizing, menjembatani dan memberikan orientasi kepada kelompok gerakan atau rakyat. Paradigma kritis masih signifikan untuk digunakan sebagai alat analisis social, tetapi kurang mampu untuk digunakan dalam perubahan sosial. Karena ia tidak dapat memberikan perspektif dan orientasi sebagai kekuatan bersejarah dalam masyarakat untuk bergerak. Karenanya, paradigma kritis yang digunakan di PMII adalah kritik yang mampu mewujudkan perubahan sehingga menjadi paradigma kritis transformatif. Paradigma kritis transformatif PMII dipilih sebagai upaya menjembatani kekurangan-kekurangan yang ada dalam paradigma kritis pada wilayah-wilayah turunan dari bacaan kritisnya terhadap realitas. Dengan demikian paradigma kritis transformatif dituntut untuk memiliki instrumen-instrumen gerak yang bisa digunakan oleh PMII mulai dari ranah filosofis sampai praksis. 

Dasar Pemikiran Paradigma Kritis Transformatif PMII.
Ada bebarapa alasan yang menyebabkan PMII harus memilih paradigma kritis sebagai dasar untuk bertindak dan mengaplikasikan pemikiran serta menyusun cara pandang dalam melakukan analisa: Pertama, masyarakat Indonesia saat ini sedang terbelenggu oleh nilai-nilai kapitalisme modern. Kesadaran masyarakat dikekang dan diarahkan pada satu titik yaitu budaya massa kapitalisme dan pola pikir positivistic modernisme. Pemikiran-pemikiran seperti ini sekarang telah menjadi sebuah berhala yang mengahruskan semua orang untuk mengikatkan diri padanya. Siapa yang tidak melakukan, dia akan ditinggalkan dan dipinggirkan. Eksistensinya-pun tidak diakui. Akibatnya jelas, kreatifitas dan pola pikir manusia menjadi tidak berkembang. Dalam kondisi seperti ini maka penerapan paradigma kritis menjadi suatu keniscayaan.
Kedua, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, baik etnik, tradisi, kultur maupun kepercayaan. Kondisi seperti ini sangat memerlukan paradigma kritis, karena paradigma ini akan memberikan tempat yang sama bagi setiap individu maupun kelompok masyarakat untuk mengembangkan potensi diri dan kreatifitasnya secara maksimal melalui dialog yang terbuka dan jujur. Dengan demikian potensi tradisi akan bisa dikembangkan secara maksimal untuk kemanusiaan.
Ketiga, sebagaimana kita ketahui selama pemerintahan Orde Baru berjalan sebuah sistem politik yang represif dan otoriter dengan pola yang hegemonic. Akibatnya ruang publik (public sphere) masyarakat hilang karena direnggut oleh kekuatan negara. Dampak lanjutannya adalah berkembangnya budaya bisu dalam masyarakat, sehingga proses demokratisasi terganggu karena sikap kritis diberangus. Untuk mengembangkan budaya demokratis dan memperkuat civil society dihadapan negara, maka paradigma kritis merupakan alternatif yang tepat.
Keempat, selama pemerintahan orde baru yang menggunakan paradigma keteraturan (order paradigma) dengan teori-teori modern yang direpresentasikan melalui ideologi developmentalisme, warga PMII mengalami proses marginalisasi secara hampir sempurna. Hal ini karena PMII dianggap sebagai wakil dari masyarakat tardisional. Selain itu, paradigma keteraturan memiliki konsekuensi logis bahwa pemerintah harus menjaga harmoni dan keseimbangan social yang meniscayakan adanya gejolak social yang harus ditekan seecil apapun. Sementara perubahan harus berjalan secara gradual dan perlahan. Dalam suasana demikian, massa PMII secara sosilogis akan sulit berkembangkarena tidak memiliki ruang yang memadai untuk mengembangkan diri, mengimplementasikan kreatifitas dan potensi dirinya.
Kelima, Selain belenggu sosial politik yang dilakukan oleh negara dan sistem kapitalisme global yang terjadi sebagai akibat perkembangan situasi, factor yang secara spesifik terjadi dikalangan PMII adalah kuatnya belenggu dogmatisme agama dan tradisi. Dampaknya, secara tidak sadar telah terjadi berbagai pemahaman yang distortif mengenai ajaran dan fungsi agama. Terjadi dogmatisme agama yang berdampak pada kesulitan membedakan mana yang dogma dan mana yang pemikiran terhadap dogma. Agamapun menjadi kering dan beku, bahkan tidak jarang agama justru menjadi penghalang bagi kemajuan dan upaya penegakan nilai kemanusiaan. Menjadi penting artinya sebuah upaya dekonstruksi pemahaman keagamaan melalui paradigma kritis.

Apakah Paradigma itu? 
Paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Khun, seorang ahli fisika teoritik, dalam bukunya “The Structure Of Scientific Revolution”, yang dipopulerkan oleh Robert Friederichs (The Sociologi Of Sociology;1970), Lodhal dan Cardon (1972), Effrat (1972), dan Philips (1973). Sementara Khun sendiri, seperti ditulis Ritzer (1980) tidak mendefinisikan secara jelas pengertian paradigma. Bahkan menggunakan kata paradigma dalam 21 konteks yang berbeda. Namun dari 21 pengertian tersebut oleh Masterman diklasifikasikan dalam tiga pengertian paradigma.
  1. Paradigma metafisik yang mengacu pada sesuatu yang menjadi pusat kajian ilmuwan.
  2. Paradigma Sosiologi yang mengacu pada suatu kebiasaan sosial masyarakat atau penemuan teori yang diterima secara umum.
  3. Paradigma Konstrak sebagai sesuatu yang mendasari bangunan konsep dalam lingkup tertentu, misalnya paradigma pembangunan, paradigma pergerakan dll.

Masterman sendiri merumuskan paradigma sebagai “pandangan mendasar dari suatu ilmu yang menjadi pokok persoalan yang dipelajari (a fundamental image a dicipline has of its subject matter).Sedangkan George Ritzer mengartikan paradigma sebagai apa yang harus dipelajari, persoalan-persoalan apa yang mesti dipelajari, bagaimana seharusnya menjawabnya, serta seperangkat aturan tafsir sosial dalam menjawab persoalan-persoalan tersebut. Maka, jika dirumuskan secara sederhana sesungguhnya paradigma adalah “How to see the Word” semacam kaca mata untuk melihat, memaknai, menafsirkan masyarakat atau realitas sosial. Tafsir sosial ini kemudian menurunkan respon sosial yang memandu arahan pergerakan. 

Apakah yang disebut Teori kritis ?
Apa sebenarnya makna “Kritis”? Menurut kamus ilmiah populer, kritis adalah Tajam/ tegas dan teliti dalam menanggapi atau memberikan penilaian secara mendalam. Sehingga teori kritis adalah teori yang berusaha melakukan analisa secara tajam dan teliti terhadap realitas. Secara historis, berbicara tentang teori kritis tidak bisa lepas dari Madzhab Frankfurt.  Dengan kata lain, teori kritis merupakan produk dari institute penelitian sosial, Universitas Frankfurt Jerman yang digawangi oleh kalangan neo-marxis Jerman. Teori Kritis menjadi disputasi publik di kalangan filsafat sosial dan sosiologi pada tahun 1961. Konfrontasi intelektual yang cukup terkenal adalah perdebatan epistemologi sosial antara Adorno (kubu Sekolah Frankfurt–paradigma kritis) dengan Karl Popper (kubu Sekolah Wina–paradigma neo-positivisme/ neo-kantian). Konfrontasi berlanjut antara Hans Albert (kubu Popper) dengan Jürgen Habermas (kubu Adorno). Perdebatan ini memacu debat positivisme dalam sosiologi Jerman. Habermas adalah tokoh yang berhasil mengintegrasikan metode analitis ke dalam pemikiran dialektis Teori Kritis. 
Teori kritis adalah anak cabang pemikiran marxis dan sekaligus cabang marxisme yang paling jauh meninggalkan Karl Marx (Frankfurter Schule). Cara dan ciri pemikiran aliran Frankfurt disebut ciri teori kritik masyarakat “eine Kritische Theorie der Gesselschaft”. Teori ini mau mencoba memperbaharui dan merekonstruksi teori yang membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Ciri khas dari teori kritik masyarakat adalah bahwa teori tersebut bertitik tolak dari inspirasi pemikiran sosial Karl Marx, tapi juga sekaligus melampaui bangunan ideologis marxisme bahkan meninggalkan beberapa tema pokok Marx dan menghadapi masalah masyarakat industri maju secara baru dan kreatif. Beberapa tokoh Teori Kritis angkatan pertama adalah Max Horkheimer, Theodor Wiesengrund Adorno (musikus, ahli sastra, psikolog dan filsuf), Friedrich Pollock (ekonom), Erich Fromm (ahli psikoanalisa Freud), Karl Wittfogel (sinolog), Leo Lowenthal (sosiolog), Walter Benjamin (kritikus sastra), Herbert Marcuse (murid Heidegger yang mencoba menggabungkan fenomenologi dan marxisme, yang juga selanjutnya Marcuse menjadi “nabi” gerakan New Left di Amerika). Pada intinya madzhab Frankfurt tidak puas atas teori Negara Marxian yang terlalu bertendensi determinisme ekonomi. Determinisme ekonomi berasumsi bahwa perubahan akan terjadi apabila masalah ekonomi sudah stabil. Jadi basic strurtur (ekonomi) sangat menentukan supras truktur (politik, sosial, budaya, pendidikan dan seluruh dimensi kehidupan manusia). 
Kemudian mereka mengembangkan kritik terhadap masyarakat dan berbagai sistem pengetahuan. Teori  kritis tidak hanya menumpukkan analisisnya pada struktur sosial, tapi teori kritis juga memberikan perhatian pada kebudayaan masyarakat (culture society). Seluruh program teori kritis Madzhab Frankfurt dapat dikembalikan pada sebuah manifesto yang ditulis di dalam Zeischrift  tahun 1957 oleh Horkheimer. Dalam artikel tentang “Teori Tradisional dan teori Kritik” (Traditionelle und KritischeTheorie) ini, konsep “Teori kritis” pertama kalinya muncul. Tokoh utama teori kritis ini adalah Max Horkheimer (1895-1973), Theodor Wiesengrund Adorno (1903-1969) dan Herbert Marcuse (1898-1979) yang kemudian dilanjutkan oleh Generasi kedua mazhab Frankfurt yaitu Jurgen Habermas yang terkenal dengan teori komunikasinya. 

Diungkapkan Goerge Ritzer, secara ringkas teori kritis berfungsi untuk mengkritisi : 
  1. Teori Marxian yang deterministic yang menumpukan semua persoalan pada bidang ekonomi; 
  2. Positivisme dalam Sosiologi yang mencangkok metode sains eksak dalam wilayah sosial-humaniora katakanlah kritik epistimologi;
  3. Teori- teori sosiologi yang kebanyakan hanya memperpanjang status quo;
  4. Kritik terhadap masyarakat modern yang terjebal pada irrasionalitas, nalar teknologis,nalar instrumental yang gagal membebaskan manusia dari dominasi;
  5. Kritik kebudayaan yang dianggap hanya menghancurkan otentisitas kemanusiaan. 
Madzhab Frankfrut mengkarakterisasikan berpikir kritis dengan empat hal :    
  1. Berpikir dalam totalitas (dialektis);    
  2. Berpikir empiris-historis;    
  3. Berpikir dalam kesatuan teori dan praksis;    
  4. Berpikir dalam realitas yang tengah dan terus bekerja (working reality)

Pengertian ‘Kritik’ dalam Tradisi Teori Kritis
Mereka mengembangkan apa yang disebut dengan kritik ideology atau kritik dominasi. Sasaran kritik ini bukan hanya pada struktur sosial namun juga pada ideologi dominan dalam masyarakat. Teori Kritis berangkat dari 4 (empat sumber) kritik yang dikonseptualisasikan oleh Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx dan Sigmund Freud. 

1.      Kritik dalam pengertian Kantian. 
Immanuel Kant melihat teori kritis dari pengambilan suatu ilmu pengetahuan secara subyektif sehingga akan membentuk paradigma segala sesuatu secara subyektif pula. Kant menumpukkan analisisnya pada aras epistemologis; tradisi filsafat yang bergulat pada persoalan “isi” pengetahuan. Untuk menemukan kebenaran, Kant mempertanyakan “condition of possibility” bagi pengetahuan. Bisa juga disederhanakan bahwa kitik Kant terhadap epistemologi tentang (kapasitas rasio dalam persoalan pengetahuam) bahwa rasio dapat menjadi kritis terhadap kemampuannya sendiri dan dapat menjadi ‘pengadilan tinggi’. Kritik ini bersifat transendental. Kritik dalam pengertian pemikiran Kantian adalah kritik sebagai kegiatan menguji kesahihan klaim pengetahuan tanpa prasangka.    

2.      Kritik dalam Arti Hegelian. 
Kritik dalam makna Hegelian merupakan kritik terhadap pemikiran kritis Kantian. Menurut Hegel, Kant berambisi membangun suatu “meta-teori” untuk menguji validitas suatu teori. Menurut Hegel pengertian kritis merupakan refleksi-diri dalam upaya menempuh pergulatan panjang menuju ruh absolute. Hegel merupakan peletak dasar metode berpikir dialektis yang diadopsi dari prinsip tri-angle-nya Spinoza Diktumnya yang terkenal adalah therational is real, the real is rational. Sehingga, berbeda dengan Kant, Hegel memandang teori kritis sebagai proses totalitas berfikir.  Dengan kata lain, kebenaran muncul atau kritisisme bisa tumbuh apabila terjadi benturan dan pengingkaran atas sesuatu yang sudah ada. Kritik dalam pengertian Hegel didefinisikan sebagai refleksi diri atas tekanan dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri-rasio dalam sejarah manusia.    

3.      Kritik dalam Arti Marxian. 
Menurut Marx, konsep Hegel seperti orang berjalan dengan kepala. Ini adalah terbalik. Dialektika Hegelian dipandang terlalu idealis, yang memandang bahwa, yang berdialektika adalah pikiran. Ini kesalahan serius sebab yang berdialektika adalah kekuatan-kekuatan material dalam masyarakat. Pikiran hanya refleksi dari kekuatan material (modal produksi masyarakat). Sehingga teori kritisbagi Marx sebagai usaha mengemansipasi diri dari penindasan dan elienasi yang dihasilkan oleh penguasa di dalam masyarakat. Kritik dalam pengertian Marxian berarti usaha untuk mengemansipasi diri dari alienasi atau keterasingan yang dihasilkan oeh hubungan kekuasaan dalam masyarakat.      

4.      Kritik dalam Arti Freudian. 
Madzhab frankfrut menerima Sigmun Freud karena analisis Freudian mampu memberikan basis psikologis masyarakat dan mampu membongkar konstruk kesadaran dan pemberdayaan masyarakat. Freud memandang teori kritis dengan refleksi dan  analisis psikoanalisanya. Artinya, bahwa orang bisa melakukan sesuatu karena didorong oleh keinginan untuk hidupnya sehingga manusia melakukan perubahan dalam dirinya. Kritik dalam pengertian Freudian adalah refleksi atas konflik psikis yang menghasilkan represi dan memanipulasi kesadaran. Adopsi Teori Kritis atas pemikiran Freudian yang sangat psikologistik dianggap sebagai pengkhianatan terhadap ortodoksi marxisme klasik.
Berdasarkan empat pengertian kritis di atas, teori kritis adalah teori yang bukan hanya sekedar kontemplasi pasif prinsip-prinsip obyektif realitas, melainkan bersifat emansipatoris. Sedang teori yang emansipatoris harus memenuhi tiga syarat : Pertama, bersifat kritis dan curiga terhadap segala sesuatu yang terjadi pada zamannya. Kedua, berfikir secara historis, artinya selalu melihat proses perkembangan masyarakat. Ketiga, tidak memisahkan teori dan praksis. Tidak melepaskan fakta dari nilai semata-mata untuk mendapatkan hasil yang obyektif. 

Tiga Jenis Utama Paradigma
Paradigma Kritis; Sebuah Sintesis Perkembangan Paradigma Sosial: William Perdue, menyatakan dalam ilmu sosial dikenal adanya tiga jenis utama paradigma:

1.      Order Paradigm (Paradigma Keteraturan). 
Inti dari paradigma keteraturan adalah bahwa masyarakat dipandang sebagai sistem sosial yang terdiri dari bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan sistemik. Asumsi dasarnya adalah bahwa: Setiap struktur sosial adalah fungsional terhadap struktur lainnya. Kemiskinan, peperangan, perbudakan misalnya, merupakan suatu yang wajar, sebab fungsional terhadap masyarakat. Ini yang kemudian melahirkan teori strukturalisme fungsional. Secara eksternal paradigma ini dituduh a historis, konservatif, pro-satus quo dan karenanya, anti-perubahan. Paradigma ini mengingkari hukum kekuasaan : setiap ada kekuasaan senantiasa ada perlawanan. Untuk memahami pola pemikiran paradigma keteraturan dapat dilihat skema berikut:

Elemen Paradigmatik
Asumsi dasar
Type ideal
Imajinasi sifat dasar manusia
Rasional, memiliki kepentingan pribadi, ketidakseimbangan personal dan berpotensi memunculkan dis integrasi sosial
Pandangan hobes mengenai konsep dasar Negara
Imajinasi tentang masyarakat
Consensus, kohesif/fungsional struktural, ketidakseimbangan sosial, ahistoris, konservatif, pro-status quo, anti perubahan
Negara Republic Plato 
Imajinasi ilmu pengetahuan
Sistematic, positivistic, kuantitatif dan prediktif.
Fungsionalisme Auguste Comte, fungsionalisme Durkheim, fungsionalisme struktural Talcot Parson

2. Conflic Paradigm (Paradigma Konflik) 
Secara konseptual paradigma Konflik menyerang paradigma keteraturan yang mengabaikan kenyataan bahwa: Setiap unsur-unsur sosial dalam dirinya mengandung kontradiksi-kontradiksi internal yang menjadi prinsip penggerak perubahan. Perubahan tidak selalu gradual; namun juga revolusioner. Dalam jangka panjang sistem sosial harus mengalami konflik sosial dalam lingkar setan (vicious circle)tak berujung pangkal Kritik itulah yang kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi paradigma konflik. Konflik dipandang sebagai inhern dalam setiap komunitas, tak mungkin dikebiri, apalagi dihilangkan. Konflik menjadi instrument perubahan. Untuk memahami pola pemikiran paradigma konflik dapat dilihat skema berikut:

Elemen paradigmatik
Asumsi dasar
Type ideal
Imajinasi sifat dasar manusia
Rasional,kooperatif, sempurna
Konsep homo feber hegel
Imajinasi tentang masyarakat
Integrasi sosial terjadi karena adanya dominasi, konflik menjadi instrument perubahan, utopia
Negara Republic plato 
Imajinasi ilmu pengetahuan
Filsafat materialisme, histories, holistic, dan terapan
Materialisme historis marx

3. Plural Paradigm (Paradigma plural)
Dari kontras atau perbedaan antara paradigma keteraturan dan paradigma konflik tersebut melahirkan upaya membangun sintesis keduanya yang melahirkan paradigma plural. Paradigma plural memandang manusia sebagai sosok yang independent, bebas dan memiliki otoritas serta otonomi untuk melakukan pemaknaan dan menafsirkan realitas sosial yang ada disekitarnya.  Untuk memahami pola pemikiran paradigma plural dapat dilihat skema berikut:

Elemen paradigmatik
Asumsi dasar
Type ideal
Imajinasi sifat dasar manusia
Manusia bertindak atas kesadaran subyektif, memiliki kebebasan menafsirkan realitas/aktif
Konsep kesadarn diri imanuel kant
Imajinasi tentang masyarakat
Struktur internal yang membentuk kesadaran manusia, kontrak sosial sebagai mekanisme control.
Konsep kontrak sosial J.J Rousseau 
Imajinasi ilmu pengetahuan
Filsafat idealisme, tindakan manusia tidak dapat diprediksi
Metode verstehen Weber

Terbentuknya Paradigma Kritis 
Ketiga paradigma di atas merupakan pijakan-pijakan untuk membangun paradigma baru. Dari optic pertumbuhan teori sosiologi telah lahir Paradigma kritis setelah dilakukan elaborasi antara paradigma pluralis dan paradigma konflik. Paradigma pluralis memberikan dasar pada paradigma kritis terkait denganasumsinya bahwa manusia merupakan sosok yang independent, bebas dan memiliki otoritas untuk menafsirkan realitas. Sedangkan paradigma konflik mempertajam paradigma kritis dengan asumsinya tentang adanya pembongkaran atas dominasi satu kelompok pada kelompok yang lain. 
Apabila  disimpulkan apa yang disebut dengan paradigma kritis adalah paradigma yang dalam melakukan tafsir sosial atau pembacaan terhadap realitas masyarakat bertumpu pada: 
1.      Analisis struktural: membaca format politik, format ekonomi dan politik hukum suatu masyarakat, untuk menelusuri nalar dan mekanisme sosialnya untuk membongkar pola dan relasi sosial yang hegeminik, dominatif, dan eksploitatif.
2.      Analisis ekonomi untuk menemukan fariabel ekonomi politikbaik pada level nasional maupun internasional.
3.      Analisis kritis yang membongkar “the dominant ideology” baik itu berakar pada agama, nilai-nilai adat, ilmu atau filsafat. Membongkar logika dan mekanisme formasi suatu wacana resmi dan pola-pola eksklusi antar wacana.
4.      Psikoanalisis yang akan membongkar kesadaran palsu di masyarakat.
5.      Analisis kesejarahan yang menelusuri dialektika antar tesis-tesis sejarah, ideologi, filsafat, actor-aktor sejarah baik dalam level individual maupun sosial, kemajuan dan kemunduran suatu masyarakat.   

Kritis dan Transformatif
Namun Paradigma kritis baru menjawab pertanyaan: struktur formasi sosial seperti apa yang sekarang sedang bekerja. Ini baru sampai pada logika dan mekanisme working-sistem yang menciptakan relasi tidak adil, hegemonik, dominatif, dan eksploitatif; namun belum mampu memberikan prespektif tentang jawaban terhadap formasi sosial tersebut; strategi mentransformasikannya; disinilah “Term Transformatif” melengkapi teori kritis. Dalam perspektif Transformatif dianut epistimologi perubahan non-esensialis. Perubahan yang tidak hanya menumpukan pada revolusi politik atau perubahan yang bertumpu pada agen tunggal sejarah; entah kaum miskin kota (KMK), buruh atau petani, tapi perubahan yang serentak yang dilakukan secara bersama-sama. 
Disisi lain makna tranformatif harus mampu mentranformasikan gagasan dan gerakan sampai pada wilayah tindakan praksis ke masyarakat. Model-model transformasi yang bisa dimanifestasikan pada dataran praksis antara lain:

1.      Transformasi dari Elitisme ke Populisme. 
Dalam model tranformasi ini digunakan model pendekatan, bahwa mahasiswa dalam melakukan gerakan sosial harus setia dan konsisten mengangkat isu-isu kerakyatan, semisal isu advokasi buruh, advokasi petani, pendampingan terhadap masyarakat yang digusur akibat adanya proyek pemerintah yang sering berselingkuh dengan kekuatan pasar (kaum kapitalis) dengan pembuatan mal-mal, yang kesemuanya itu menyentuh akan kebutuhan rakyat secara riil. Fenomena yang terjadi masih banyak mahasiswa yang lebih memprioritaskan isu elit, melangit dan jauh dari apa yang dikehendaki oleh rakyat, bahkan kadang sifatnya sangat utopis. Oleh karena itu, kita sebagai kaum intelektual terdidik, jangan sampai tercerabut dari akar sejarah kita sendiri. Karakter gerakan mahasiswa saat ini haruslah lebih condong pada gerakan yang bersifat horisontal. 

2.      Transformasi dari Negara ke Masyarakat. 
Model tranformasi kedua adalah transformasi dari Negara ke masyarakat. Kalau kemudian kita lacak basis teoritiknya adalah kritik yang dilakukan oleh Karl Marx terhadap G.W.F. Hegel. Hegel memaknai Negara sebagai penjelmaan roh absolute yang harus ditaati kebenarannya dalam memberikan kebijakan terhadap rakyatnya. Disamping itu, Hegel mengatakan bahwa Negara adalah satu-satunya wadah yang paling efektif untuk meredam terjadinya konflik internal secara nasional dalam satu bangsa. Hal ini dibantah Marx. Marx mengatakan bahwa justru masyarakatlah yang mempunyai otoritas penuh dalam menentukan kebijakan tertinggi. Makna transformasi ini akan sesuai jika gerakan mahasiswa bersama-sama rakyat bahu-membahu untuk terlibat secara langsung atas perubahan yang terjadi disetiap bangsa atau Negara. 


3.      Transformasi dari Struktur ke Kultur. 
Bentuk transformasi ketiga adalah transformasi dari struktur ke kultur, yang mana hal ini akan bisa terwujud jika dalam setiap mengambil keputusan berupa kebijakan-kebijakan ini tidak sepenuhnya bersifat sentralistik seperti yang dilakukan pada masa orde baru, akan tetapi seharusnya kebijakan ini bersifat desentralistik. Jadi, aspirasi dari bawah harus dijadikan bahan pertimbangan pemerintah dalam mengambil keputusan, hal ini karena rakyatlah yang paling mengerti akan kebutuhan, dan yang paling bersinggungan langsung dengan kerasnya benturan sosial di lapangan.

4.      Transformasi dari Individu ke Massa. 
Model transformasi selanjutnya adalah transformasi dari individu ke massa. Dalam disiplin ilmu sosiologi disebutkan bahwa manusia adalah mahluk sosial, yang sangat membutukan kehadiran mahluk yang lain. Bentuk-bentuk komunalitas ini sebenarnya sudah dicita-citakan oleh para foundhing fathers kita tentang adanya hidup bergotong royong. Rasa egoisme dan individualisme haruslah dibuang jaung-jauh dari sifat manusia. Salah satu jargon yang pernah dikatakan oleh Tan Malaka (Sang Nasionalis Kiri), adalah adanya aksi massa. Hal ini tentunya setiap perubahan meniscayakan adanya power atau kekuatan rakyat dalam menyatukan program perjuangan menuju perubahan sosial dalam bidang apapun (ipoleksosbudhankam).  

Paradigma Kritis Transformatif (PKT ) yang diterapkan di PMII?
Dari paparan diatas, terlihat bahwa PKT sepenuhnya merupakan proses pemikiran manusia, dengan demikian dia adalah sekuler. Kenyataan ini yang membuat PMII dilematis, karena akan mendapat tuduhan sekuler jika pola pikir tersebut diberlakukan. Untuk menghindari dari tudingan tersebut, maka diperlukan adanya reformulasi penerapan PKT dalam tubuh warga pergerakan. Dalam hal ini, paradigma kritis diberlakukan hanya sebagai kerangka berpikir dan metode analisis dalam memandang persoalan.  Dengan sendirinya dia tidak dilepaskan dari ketentuan ajaran agama, sebaliknya justru ingin mengembalikan dan memfungsikan ajaran agama sebagaimana mestinya. 
PKT berupaya menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan dari belenggu, melawan segala bentuk dominasi dan penindasan, membuka tabir dan selubung pengetahuan yang munafik dan hegemonik. Semua ini adalah pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Islam. Oleh karenanya pokok-pokok pikiran inilah yang dapat diterima sebagai titik pijak penerapan PKT di kalangan warga PMII. Contoh yang paling kongkrit dalam hal ini bisa ditunjuk pola pemikiran yang menggunakan paradigma kritis dari beberapa intelektual Islam, diantaranya Hassan Hanafi dan Arkoun.  

Mengapa PMII memilih Paradigma Kritis Transformatif?
“Berpikir Kritis & Bertindak Tansformatif” itulah Jargon PMII dalam setiap membaca tafsir sosial yang sedang terjadi dalam konteks apapun. Dan ada beberapa alasan yang menyebabkan PMII harus memiliki Paradigma Kritis Transformatif sebagai dasar untuk bertindak dan mengaplikasikan pemikiran serta menyusun cara pandang dalam melakukan analisa terhadap realitas sosial. Alasan-alasan tersebut adalah:
1.      Masyarakat Indonesia saat ini sedang terbelenggu oleh nilai-nilai kapitalisme modern, dimana kesadaran masyarakat dikekang dan diarahkan pada satu titik yaitu budaya massa kapitalisme dan pola berpikir positivistik modernisme.       
2.      Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk/plural, beragam, baik secara etnis, tradisi, kultur maupun kepercayaan (adanya pluralitas society).
3.      Pemerintahan yang menggunakan sistem yang represif dan otoriter dengan pola yang hegemonik (sistem pemerintahan menggunakan paradigma keteraturan yang anti perubahan dan pro status quo).
4.      Kuatnya belenggu dogmatisme agama, akibatnya agama menjadi kering dan beku, bahkan tidak jarang agama justru menjadi penghalang bagi kemajuan dan upaya penegakan nilai kemanusiaan. 


Beberapa alasan mengenai mengapa PMII memilih Paradigma Kritis Tansformatif untuk dijadikan pisau analisis dalam menafsirkan realitas sosial. Karena pada hakekatnya dengan analisis PKT mengidealkan sebuah bentuk perubahan dari semua level dimensi kehidupan masyarakat (ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan dll) secara bersama-sama. Hal ini juga tercermin dalam imagened community (komunitas imajiner) PMII yang mengidealkan orientasi out-put kader PMII yang diantaranya adalah : Intelektual Organik, Agamawan Kritis, Profesional Lobbiyer, Ekonom Cerdas, Budayawan Kritis, Politisi Tangguh, dan Praktisi Pendidikan yang Transformatif. 

Proses Perubahan Sosial[1]
Ada tiga hal yang berkenaan dengan proses perubahan sosial. Pertama, bagaimana ideas mempengaruhi perubahan-perubahan sosial. Kedua, bagaimana tokoh-tokoh besar dalam sejarah menimbulkan perubahan besar di tengah-tengah masyarakat. Ketiga, sejauh mana peranan gerakan-gerakan sosial dan revolusi menimbulkan perubahan struktur sosial dan norma-norma sosial.
Dalam Marxisme, yang kita kenal sebagai materialisme sejarah (historical materialism), ada anggapan bahwa yang merubah sejarah, masyarakat dan bangsa bukanlah ide atau gagasan, tetapi tehnologi, struktur ekonomi, atau penggunaan alat-alat produksi. Marx membagi struktur masyarakat ke dalam dua bagian: supratruktur dan infrastruktur. 
Yang termasuk infrastruktur suatu kebudayaan misalnya, struktur ekonomi atau tehnologi kebudayaan itu sendiri; sedangkan suprastrukturnya adalah ideologi, kepercayaan, agama, ideas, belief, dan lain-lain. Menurut Marx, suprastruktur ditentukan oleh infrastruktur. Ideologi akan sangat ditentukan oleh ekonomi. Keadaan ekonomi misalnya akan menentukan kesadaran kelas; bukan sebaliknya. Agama kita sangat ditentukan oleh posisi ekonomi kita ditengah-tengah masyarakat. Versi-versi keberagaman kita sangat ditentukan oleh letak kita didalam status sosial ekonomi. Apa yang dirumuskan Marx sebetulnya merupakan antitesis dari; ideas akan menentukan sejarah.
Kekuatan sejarah akan sangat ditentukan oleh ideas (gagasan-gagasan). Ideologilah yang akan menentukan perubahan ekonomi, sistem sosial dan struktur politik. Jika ideologi suatu masyarakat berubah, berubah pulalah infrastruktur masyarakat itu. Berbeda dengan pandangan Marx, teori ini menganggap bahwa ideas-lah yang paling menentukan prubahan sosial. Teori yang sekaligus menjadi kritik terhadap Marx ini dikemukakan oleh Max Weber.
Suatu masyarakat dikatakan mengalami perubahan sosial jika sistem sosial juga berubah. Jadi, dalam perkembangan masyarakat itu, individu tidak berperan apa-apa. Mereka hanyalah pion-pion kecil yang digerakkan oleh sistem sosial, politik dan ekonomi. Dulu, para sosiolog melacak perubahan-perubahan masyarakat pada perubahan-perubahan institusi; individu sama sekali tidak memegang peranan. Sebagai contoh utamanya dalam tesis Marx. Namun Weber membalikkan pandangan itu dengan mengatakan bahwa semua perubahan sosil dimulai dari perubahan tingkah laku manusia, perubahan dari human actions, perubahan dari tindakan-tindakan manusia yang ada di masyarakat. Karena itu, banyak ahli menganggap Weber sebagai pendiri dari apa yang kita sebut sebagai sosiologi humanis, sosiologi yang (kembali) menempatkan peranan manusia dalam perubahan-perubahan sosial. Kalau kita bicara tentang rekayasa sosial, basis teori yang kita pergunakan adalah humanist sociology, yakni bahwa kita, sebagai manusia dapat mempengaruhi perubahan sosial. Berbeda dengan Marx, Weber berpendapat bahwa superstruktur, soft belief system, ideology adalah faktor yang sangat aktif dan efektif dalam mengubah sejarah. Tesis Weber ini terbuksi dengan munculnya kapitalisme. 
Kapitalis adalah sebuah sistem sosial yang ditegakkan diatas dasar pencarian keuntungan dan tindakan-tindakan rasional. Kata Max Weber,kapitalis adalah pengantar menuju masyarakat modern. Bersamaan dengan lahirnya kapitalisme, lahir pula institusi-institusi dan pengusaha-pengusaha baru yang independen. Pandangan baru tentang pasar (market) juga mulai muncul ke permukaan. Menurut Weber, sebagai sebuah sistem sosial, kelahiran kapitalisme di Eropa Barat dipengaruhi oleh tindakan-tindakan manusia. Ada perubahan dalam tingkah laku manusia (human actions) menjelang kelahiran kapitalisme. Ada sekelompok orang yang perilakunya berbeda dengan kebanyakan orang pada zaman itu. Kapitalisme muncul karena sekelompok orang—yang disebut Weber sebagai new enterpreneur (pengusaha-pengusaha baru)—melakukan serangkaian tindakan (human actions). Tindakan itu didasarkan pada semangat kapitalisme (spirit of capitalism). Semangat kapitalisme terdiri dari tiga hal; motif memperoleh laba (profit motive), hidup zuhud dan sederhana (ascetic orientation) semangat misi (ideas of calling).

Masyarakat Industri[2]
Masyarakat baru yang didasarkan atas cara berfikir yang rasional dan positif itu adalah masyarakat industri. Kelahiran dan pertumbuhan industri telah menjadi gejala paling menyolok dalam abad lampau. Industri itu dimengerti sebagai penyebab perubahan sosial yang besar sekali. Raymond Aron, sarjana sosiologi pada Universitas Sorbone di Paris, dalam bukunya Main Currens in Sociological Thought(1965) meyebut enam ciri proses industrialisasi, yang disaksikan dalam abad ke-18 dan ke-19, yaitu:
Pertama, industri merupakan rasionalisasi proses kerja. Cara kerja ditinjau dan diatur kembali menurut prinsip-prinsip ilmu pengetahuan positif dengan tujuan untuk menghasilkan out-put semaksimal mungkin.
Kedua, penemuan-penemuan dibidang ilmu alam, yang diterapkan dalam proses kerja, menghasilkan kemungkian dan kemampuan tiba-tiba untuk mengolah dan menguasai sumber-seumber kekayaan alam demi suatu kemakmuran yang tak ada bandingnya dalam sejarah.
Ketiga, berkembangnya industri mengakibatkan konsentrasi kaum buruh di dekat pabrik dan tambang, serta urbanisasi. Suatu kelas sosial baru lahir, yaitu kelas buruh, yang hidup dan nasibnya tergantung dari orang lain. 
Keempat, konsentrasi kaum buruh itu di kawasan-kawasan industri mengakibatkan antagonisme (pertentangan)—yang entah masih terpendam atau sudah terbuka—antara dua kelas sosial, yaitu kaum proletar dan kaum bermodal.
Kelima, rasionalisasi metoda kerja tadi membawa rejeki besar bagi sebagian kecil manusia, tetapi kemikinan yang mencemaskan bagi banyak orang lain. Kemiskinan itu disebabkan oleh produksi yang terlalu banyak (overproduction). Kemiskinan yang meluas itu mengecutkan semua pihak, dan oleh pendukung zaman baru dilihat sebagai tantangan dan ujian bagi akal-budi manusia.
Keenam, akhirnya muncul liberalisme dibidang ekonomi dengan slogannya laissez faire, laissez aller (biarlah orang berbuat sendiri, biarlah orang mencari jalan sendiri). Setiap intervensi pemerintah dalam proses produksi ditolak dengan berdalih bahwa dunia ekonomi adalah dunia otonom yang mempunyai hukumnya sendiri dan sendiri mencari keseimbangan. Persaingan bebas harus diizinkan.[3]
Raymond Aron mencatat bahwa optimisme Comte dan kepercayaannya akan masa depan membuat dia agak meremehkan hal-hal negatif seperti antagonisme kelas dan kemiskinan kaum buruh. Ia menilai itu sebagai akibat sampingan yang disebabkan oleh kekurangan-kekurangan teknis. Mereka semantara saja! Masalah transisi! Ibarat penyakit kanak-kanak yang dengan sendirinya akan dapat diatasi kelak pada waktunya. Inti hakikat masyarakat industri ialah rasionalisasi metoda kerja, konsentrasi kaum buruh secara besar-besaran, dan bertumpuknya modal besar dalam tangan segelintir kecil orang. Comte membenarkan hak milik perseorangan atas sarana-saran produksi, juga hak untuk megumpulkan kekayaan besar.
Hal-hal yang oleh Comte dianggap pada dasarnya sehat dan progresif, kemudian akan dicela dan ditolak oleh Karl Marx dan pengikutnya. Bagi mereka justru pertentangan kelas dan pemilikan atas modal besar dan sarana produksi oleh individu merupakan penyakit permanen dan kronis yang ada hubungan langsung dengan inti hakikat dan sifat dasar sistem sendiri, yang mesti mengakibatkan kehancuran, Marx dan pengikutnya pesimistis terhadap perkembangan masyarakat industri. 
Filsafat Perubahan Sosial[4]
Dalam materialisme dialektik, tindakan adalah yang pertama dan fikiran adalah yang kedua. Aliran ini mengatakan bahwa tak terdapat pengetahuan yang hanya merupakan pemikiran tentang alam; pengetahuan selalu dikaitkan dengan tindakan. Pada zaman dahulu, menurut Marx, para filosof telah menjelaskan alam dengan cara yang berbeda-beda. Kewajiban manusia sekarang adalah untuk mengubah dunia, dan ini adalah tugas dan misi yang bersejarah dari kaum komunis. Dalam melakukan tugas ini, mereka tidak ragu-ragu untuk mengambil tindakan dan menggunakan kekerasan guna mencapai maksud mereka. Sesungguhnya,kebanyakanorang komunis percaya bahwa kekerasan adalah perlu untuk menghilangkan kejahatan dari masyarakat.
Masyarakat, seperti benda-benda lain, selalu dalam proses perubahan. Ia tidak dapat diam (statis) karena meteri itu sedniri bergerak (dinamis). Akan tetapi perubahan atau proses perkembangan itu tidak sederhana, lurus atau linear. Selalu terjadi perubahan-perubahan yang kecil, yang tidak terlihat, dan kelihatannya tidak mengubah watak benda yang berubah itu, sampai terjadilah suatu tahap dimana suatu benda tidak dapat berubah tanpa menjadi benda lain. Pada waktu itu terjadi suatu perubahan yang mendadak. Sebagai contoh, air dipanaskan pelan-pelan, ia menjadi bertambah panas sedikit demi sedikit. Sampai akhirnya secara mendadak, pada suatu tahap, ia menjadi uap, dan terjadilah perubahan keadaan. Ada perkembangan yang lalu dari perubahan kuantitatif yang sangat kecil dan tidak berarti, kemudian menjadi perubahan yang penting terbuka dan kemudian menjadi perubahan kualitas; terjadi juga suatu perkembangan dimana perubahan kualitatif terjadi dengan lekas dan mendadak, berupa suatu loncatan dari suatu keadaan  kepada keadaan yang lain.[5] Begitu juga dalam hubungan ekonomi dari suatu masyarakat dan dalam pertarungan kepentigan antara kelas, situasi revolusioner akan muncul. Jika ditafsirkan dengan cara ini maka materialisme dialektik memberi dasar kepada perjuangan kelas dan tindakan revolusioner.
Pada tahun 1848 Karl Marx dan Freidrich Engels menerbitkan Manifesto Komunis, suatu dokumen yang banyak mempengaruhi gerakan revolusioner. Akhirnya Karl Marx menerbitkan karyanya yang besar, Das Kapital, Jilid pertama terbit pada tahu 1867. Marx membentuk interpretasi ekonomi tentang sejarah, dan interpretasi tersebut telah berpengaruh kuat selama seratus tahun terakhir ini. Bagi Marx faktor ekonomi adalah faktor yang menentukan dalam perkembangan sejarah manusia. Sejarah digambarkan sebagai pertempuran kelas, dimana alat-alat produksi, didistribusi dan pertukaran barang dalam struktur ekonomi dari masyarakat menyebabkan perubahan dalam hubungan kelas, dan ini semua mempengaruhi kebiasaan dalam tradisi politik, sosial, moral dan agama.
Terdapat lima macam sistem produksi, empat macam telah muncul bergantian dalam masyarakat manusia. Sistem kelima diramalkan akan muncul pada hari esok yang dekat, dan sekarang sudah mulai terbentuk. Yang pertama adalah sistem komunisme primitif. Sistem ini adalah tindakan ekonomi yang pertama dan mempunyai ciri-ciri pemilikan benda secara kolektif, hubungan yang damai antar perorangan dan tidak adanya tehnologi. Tingkat kedua adalah sistem produksi kuno yang didasarkan atas perbudakan. Cirinya adalah timbulnya hal milik pribadi, yang terjadi ketika pertanian dan pemeliharaan binatang mengganti perburuan sebagai sarana hidup. Dengan lekas, kelompok aristokrat dan kelas tinggi memperbudak kelompok lain. Pertarungan kepentingan timbul ketika kelompok minoritas menguasai sarana hidup. Tingkatan ketiga adalah tingkatan dimana kelompok-kelompok feodal menguasasi penduduk-penduduk. Pembesar-pembesar feodal menguasai kelebihan hasil para penduduk yghanya dapat hidup secara sangat sederhana.
Pada tingkatan keempat, timbulah sistem borjuis atau kapitalis dengan meningkatnya perdagangan, penciptaan dan pembagian pekerjaan; sistem pabrik menimbulkan industrialis kapitalis, yang memiliki dan mengontrol alat-alat produksi. Si pekerja hanya memiliki kekuatan badan, dan terpaksa menyewakan dirinya. Sebagai giliran tangan menimbulkan masyarakat dengan pengusaha kapitalis.
Sejarah masyarakat mulai pecahnya masyarakat primitif bersama adalah sejarah pertarungan kelas. Selama seratus lima puluh tahun terakhir, kapitalisme industri dengan doktrin self-interest(kepentingan diri sendiri)-nya telah membagi masyarakat menjadi dua kelompok yang bertentangan: borjuis atau kelompok yang memiliki dan proletar atau kaum buruh. Oleh karena kelas yang memiliki menguasai lembaga-lembaga kunci dari masyarakat dan tidak mengizinkan perubahan besar dengan jalan damai, maka jalan keluarnya adalah penggulingan kondisi sosial yang ada dengan kekerasan.
Setelah revolusi, menurut materialisme dialektik dan filsafat komunis, akan terdapat dua tingkat masyarakat. Pertama tingkat peralihan, yaitu periode kediktatoran dari kaum proletar. Dalam waktu tersebut orang mengadakan perubahan sosial yang revolusioner, dan kelas-kelas masyarakat dihilangkan dengan dihilangkannya hak milik pribadi terhadap sarana produksi, distribusi dan pertukaran (excange). Tingkat kedua setelah revolusi adalah tingkat kelima dan tipe terakhir dari sistem produksi. Itu adalah “masyarakat tanpa kelas” atau komunisme murni. Pada tingkatan tersebut bentrokan dan eksploitasi akan telah selesai, dan semua orang, pria dan wanita akan terjamin kehidupannya yang layak. Negara tidak lagi menjadi alat kelas dan dialektik tidak berlaku lagi dalam masyarakat tanpa kelas. Akan terdapat kemerdekaan, persamaan, perdamaian dan rizki pun melimpah. Masyarakat akan menyaksikan realisasi kata-kata: dari setiap orang menurut kemauannya, bagi setiap orang menurut kebutuhannya.

Kritik Teori Sosial Marx[6]
Diantara para teoretikus Marx, barangkali Habermaslah orang yang paling tekun menelusuri asal-usul teoretis dari Marxisme, sampai pada pikiran-pikiran sebelum Marx. Sekilas usaha semacam ini tampaknya membuang-buang waktu, tetapi persis sebenarnya disini letak ketajaman Habermas. Sebuah “hermeneutik” atas Marxisme dapat mengembalikan pada maksud asli Marx sendiri sebagai seorang yang prihatin terhadap situasi zamannya. Dengan cara itu Habermas menunjukkan mengapa teori Marx itu menjadi semakin kritis pada zamannya. Dalam esainya, Between Philoshopy and Science: Marxisme as Critique[7]“hermeneutik” macam itu sungguh sangat menarik, bukan saja untuk mengetahui  bagaimana konsep Habermas tentang sebuah teori sosial yang kritis, tetapi juga darimana teori Marx meraih sifat kritisnya.
Sudah jelas bagi Habermas sendiri bahwa Marxisme yang dipertahankan terus dalam bentuk ortodoknya[8] itu sudah ketinggalan zaman. Karl Marx itu hidup pada zaman abad ke-19, saat pesatnya industrialisasi dan mekanisme pasaran bebas. Itulah zaman kapitalisme liberal. Zaman sekarang, abad ke-20 ini, kapitalisme sudah berkembang semakin kompleks. Habermas menyebut tahap kapitalisme dewasa ini sebagai Spatkapitalismus atau kapitalisme lanjut. Pada tahap ini, analisis-analisis Marx menjadi tidak relevan. 
Habermas mengemukakan empat alasan. Pertama, berbeda dari zaman kapitalis liberal saat ekonomi menentukan kebijakan-kebijakan politis, dewasa ini, karena intervensi negara ke pasar politik bukan lagi merupakan ”superstruktur”. Pengandaian dasar Marx bahwa basis ekonomi menentukan superstruktur kesadaran menjadi tidak relevan. Kedua, perkembangan standar hidup dewasa ini sudah begitu jauh, sehingga revolusi sudah tidak bisa dikobarkan lewat istilah-istilah ekonomi. Dewasa ini juga terjadi kompromi kelas-kelas sosial, sehingga antagonisme kaum buruh dan kapitalis ala Marxisme itu juga menjadi tidak relevan, sebab kecemburuan sosial tidak hanya dirasakan kaum buruh, tapi juga kelas-kelas lain. Ketiga, karena itu, kaum proletar tidak bisa dijadikan tumpuan harapan sebagai agen perubahan. Perjuangan kelas pada taraf nasional sudah distabilkan, tetapi sebagai gantinya, terjadi ketegangan global antar negara-negara kapitalis dan komunis. Keempat, berdirinya raksasa Uni Soviet memadamkan diskusi kritis mengenai Marxisme, sehingga Marxisme lambat laun kehilangan daya tariknya sebagai ilmu.

Paradigma-paradigma Sosiologi 
Untuk lebih mempertajam pemahaman dan seluk-beluk peta paradigma yang dapat digunakan untuk memahami teori-­teori perubahan sosial dan teori pembangunan, maka perIu juga kita memetakan secara lebih luas paradigma dalam ilmu sosiologi. Untuk itu dalam bagian ini dikemukakan dan disaji­kan peta paradigma sosiologi yang dikembangkan oleh Burnell dan Morgan (1979). Burnell dan Morgan membuat suatu pemetaan paradigma sosiologi yang dapat membantu kita untuk memahami 'cara pandang' berbagai aliran dan teori ilmu-ilmu sosial. Mereka membantu memecahkan sumber utama keruwetan peta teori ilmu sosial dengan mengajukan peta filsafat dan teori sosial.[9] Secara sederhana mereka mengelompokkan teori sosial ke dalam empat kunci paradigma. Empat paradigma itu dibangun atas pandangan yang berbeda mengenai dunia sosial. Masing-masing pendirian dalam kebenarannya dan melahirkan analisis tentang kehidupan sosial. Sejak tahun 1960-an sesungguhnya telah muncul berbagai aliran pemikiran sosiologi yang dalam perkembangannya justru tidak membantu untuk memperjelas peta paradigma sosiologi. Namun pada awal tahun 1970-an terjadi kebutuhan dalam perdebatan sosiologi mengenai sifat ilmu sosial dan sifat masyarakat seperti halnya terjadi pada tahun 1960-an. Untuk memecahkan kebuntuan itu mereka usulkan untuk menggunakan kembali unsur penting dari perdebatan 1960-an, yakni cara baru dalam menganalisis empat paradigma so­siologi yang berbeda. Empat paradigma itu ialah: Humanis Radikal, srukturalis radikal, interpretatif dan Fungsionalis. Ke­empat paradigma itu satu dengan yang lain memiliki pendirian masing-masing, karena memang memiliki dasar pemikiran yang secara mendasar berbeda. 
Sifat dan kegunaan empat paradigma tersebut adalah selain untuk memahami dan menganalisis suatu praktik sosial, juga untuk memahami ideologi dibalik suatu teori sosial. Paradigma sebagai anggapan-anggapan meta-teoretis yang mendasar yang menentukan kerangka berpikir, asumsi dan cara bekerjanya teori sosial yang menggunakannya. Di dalam­nya tersirat kesamaan pandangan yang mengikat sekelompok penganut teori mengenai cara pandang dan cara kerja dan batas-batas pengertian yang sama pula. Jika ilmuwan sosial menggunakan paradigma tertentu, berarti memandang dunia dalam satu cara yang tertentu pula. Peta yang digunakan di sini adalah menempatkan empat pandangan yang berbeda mengenai sifat ilmu sosial dan sifat masyarakat yang didasar­kan pada anggapan-anggapan meta-teoretis. Empat paradigma itu merupakan cara mengelompokkan kerangka berpikir sese­orang dalam suatu teori sosial dan merupakan alat untuk memahami mengapa pandangan-pandangan dan teori-teori tertentu dapat lebih menampilkan sentuhan pribadi dibanding yang lain. Demikian juga alat untuk memetakan perjalanan pemikiran teori sosial seseorang terhadap persoalan sosial. Perpindahan paradigma sangat dimungkinkan terjadi, dan hal ini sama bobotnya dengan pindah agama. Misalnya, apa yang pernah terjadi pada Karl Marx yang dikenal Marx tua dan Marx muda, yakni perpindahan dari humanis radikal ke strukturalis radikal Perpindahan ini disebut epistemological break.

Paradigma Fungsionalis 
Paradigma fungsionalisme sesungguhnya merupakan aliran pemikiran yang paling banyak dianut di dunia. Pan­dangan fungsionalisme berakar kuat pada tradisi sosiologi keteraturan. Pendekatannya terhadap permasalahan berakar pada pemikiran kaum obyektivis. Pemikiran fungsionalisme sebenarnya merupakan sosiologi kemapanan, ketertiban sosial, stabilitas sosial, kesepakatan, keterpaduan sosial, ke­setiakawanan, pemuasan kebutuhan, dan hal-hal yang nyata (empirik). Oleh karenanya, kaum fungsionalis cenderung realis dalam pendekatannya, positivis, deterministis dan nomotetis. Rasionalitas lebih diutamakan dalam menjelaskan peristiwa atau realitas sosial. Paradigma ini juga lebih berorientasi pragmatis, artinya berusaha melahirkan pengetahuan yang dapat diterapkan, berorientasi pada pemecahan masalah yang berupa langkah-langkah praktis untuk pemecahan masalah praktis juga. Mereka lebih mendasarkan pada "filsafat rekayasa sosial” (social engineering) sebagai dasar bagi usaha perubahan sosial, serta menekankan pentingnya cara-cara memelihara, mengendalikan atau mengontrol keteraturan, harmoni, serta stabilitas sosial. 
Paradigma ini pada dasamya berusaha me­nerapkan metode pendekatan pengkajian masalah sosial dan kemanusiaan dengan cara yang digunakan ilmu alam dalam memperlakukan objeknya. Paradigma ini dimulai di Prancis pada dasawarsa pertama abad ke-19 karena pengaruh karya Comte, Spencer, Durkheim, dan Pareto. Aliran ini berasal dari asumsi bahwa realitas sosial terbentuk oleh sejumlah unsur empirik nyata dan hubungan antar semua unsur tersebut dapat dikenali, dikaji, diukur dengan pendekatan dan menekankan alat seperti yang digunakan dalam ilmu alam. Menggunakan kias ilmu meka­nika dan biologi untuk menjelaskan realitas sosial pada dasarnya adalah prinsip yang umumnya digunakan oleh aliran ini. Namun demikian, sejak awal abad ke-20, mulai terjadi per­geseran, terutama setelah dipengaruhi oleh tradisi pemikiran idealisme Jerman seperti pemikiran Max Weber, Geroge Simmel dan George Herbet Mead. Sejak saat itu banyak kaum fungsionalis mulai meninggalkan rumusan teoretis dari kaum objektivis dan mulai bersentuhan dengan paradigma interpretatif yang lebih subjektif. Kias mekanika dan biologi mulai bergeser melihat manusia atau masyarakat, suatu per­geseran pandangan menuju para pelaku langsung dalam proses kegiatan sosial. 
Pada tahun 1940-an pemikiran sosiologi "perubahan radikal" mulai menyusupi kubu kaum fungsionalis untuk meradikalisasi teori-teori fungsionalis. Sungguhpun telah ter­jadi persentuhan dengan paradigma lain, paradigma fungsonalis tetap saja secara mendasar menekankan pemikiran objek­tivisme dan realitas sosial untuk menjelaskan keteraturan  sosial. Karena persentuhan dengan paradigma lain itu sebenarnya telah lahir beragam pemikiran yang berbeda atau campuran dalam paham fungsionalis. 

Paradigma Interpretatif (Fenomenologi)
Paradigma interpretatif sesungguhnya menganut pendirian sosiologi keteraturan seperti halnya fungsionalisme, tetapi mereka menggunakan pendekatan objektivisme dalam analisis sosialnya sehingga hubungan mereka dengan sosiologi keteraturan bersifat tersirat. Mereka ingin memahami kenyataan sosial menurut apa adanya, yakni mencari sifat yang paling dasar dari kenyataan sosial menurut pandangan subjektif dan kesadaran seseorang yang langsung terlibat dalam peristiwa sosial bukan menurut orang lain yang mengamati. 
Pendekatannya cenderung nominalis, antipositivis dan ideografis. Kenyataan sosial muncul karena dibentuk oleh kesadaran dan tindakan seseorang. Karenanya, mereka ber­usaha menyelami jauh ke dalam kesadaran dan subjektivitas pribadi manusia untuk menemukan pengertian apa yang ada di balik kehidupan sosial. Sungguhpun demikian, anggapan-­anggapan dasar mereka masih tetap didasarkan pada pan­dangan bahwa manusia hidup serba tertib, terpadu dan rapat, kemapanan, kesepakatan, kesetiakawan. Pertentangan, penguasan, benturan sama sekali tidak menjadi agenda kerja mereka. Mereka terpengaruh lansung oleh pemikiran sosial kaum idealis Jerman yang berasal dari pemikiran Kant yang lebih menekan­kan sifat hakikat rohaniah daripada kenyataan sosial. Perumus teori ini yakni mereka yang penganut filsafat fenomenologi antara lain Dilttey, Weber, Husserl, dan Schutz.

Paradigma Humanis Radikal  
Para penganut humanis radikal pada dasamya berminat mengembangkan sosiologi perubahan radikal dari pandangan subjektivis yakni berpijak pada kesadaran manusia. Pen­dekatan terhadap ilmu sosial sama dengan kaum interpretatif yaitu nominalis, antipositivis, volunteris dan ideografis. Kaum humanis radikal cenderung menekankan perlunya menghilang­kan atau mengatasi berbagai pembatasan tatanan sosial yang ada. Namun demikian, pandangan dasar yang penting bagi humanis radikal adalah bahwa kesadaran manusia telah di­kuasai atau dibelenggu oleh supra struktur idiologis di luar dirinya yang menciptakan pemisah antara dirinya dengan kesadarannya yang murni (alienasi), atau membuatnya dalam kesadaran palsu (false consciousness) yang menghalanginya mencapai pemenuhan dirinya sebagai manusia sejati. Karena itu, agenda utamanya adalah memahami kesulitan manusia dalam membebaskan dirinya dari semua bentuk tatanan sosial yang menghambat perkembangan dirinya sebagai manusia. Penganutnya mengecam kemapanan habis-habisan. Proses-proses sosial dilibat sebagai tidak manusiawi. Untuk itu mereka ingin memecahkan masalah bagaimana manusia bisa memutuskan belenggu-belenggu yang mengikat mereka dalam pola-pola sosial yang mapan untuk mencapai harkat kemanusiaannya. Meskipun demikian, masalah-masalah pertentangan struktural belum menjadi perhatian mereka Paulo Freire misalnya dengan analisisnya mengenai tingkatan kesadaran manusia dan usaha untuk melakukan "konsientisasi", yang pada dasarnya membangkit­kan kesadaran manusia akan sistem dan struktur penindasan, dapat dikategorikan dalam paradigma humanis radikal.


Paradigma Strukturalis Radikal 
Penganut paradigma strukturalis radikal seperti kaum humanis radikal memperjuangkan perubahan sosial secara radikal tetapi dari sudut pandang objektivisme. Pendekatan ilmiah yang mereka anut memiliki beberapa persamaan dengan kaum fungsionalis, tetapi mempunyai tujuan akhir yang saling berlawanan. Analisisnya lebih menekankan pada konflik struktural, bentuk-bentuk penguasaan dan pemerosotan harkat kemanusiaan. Karenanya, pendekatannya cen­derung realis, positivis, determinis, dan nomotetis. 
Kesadaran manusia yang bagi kaum humanis radikal penting, justru oleh mereka dianggap tidak penting. Bagi kaum strukturalis radikal yang lebih penting justru hubungan­-hubungan struktural yang terdapat dalam kenyataan sosial yang nyata. Mereka menekuni dasar-dasar hubungan sosial dalam rangka menciptakan tatanan sosial baru secara me­nyeluruh. Penganut paradigma strukturalis radikal terpecah dalam dua perhatian, pertama lebih tertarik pada menjelaskan bahwa kekuatan sosial merupakan kunci untuk menjelaskan perubahan sosial. Sebagian mereka lebih tertarik pada keadaan penuh pertentangan dalam suatu masyarakat. 
Paradigma strukturalis radikal diilhami oleh pemikiran setelah terjadinya perpecahan epistemologi dalam sejarah pemikiran Marx, di samping pengaruh Weber. Paradigma inilah yang menjadi bibit lahirnya teori sosiologi radikal. Penganutnya antara lain Luis Althusser, Polantzas, Colletti, dan beberapa penganut kelompok kiri baru. 

SUBYEKTIVIS
Keteraturan
Subyektivis

PARADIGMA
INTERPRETATIF (FENOMENOLOGI)

PARADIGMA
FUNGSIONALISME
Keteraturan
Obyektivis
OBYEKTIVIS
Pertentangan 
Subyektivis

PARADIGMA
HUMANIS 
RADIKAL

PARADIGMA
STRUKTURALIS
RADIKAL
Pertentangan
Obyektivis
Diagram 1
Peta Analisis Sosial Barnel & Morgan (1979)

Globalisasi mau tidak mau harus dilalui oleh seluruh negara di dunia ini. Hubungan antar negara menjadi sedemikian penting pengaruhnya dalam mewujudkan kehidupan masin-masing negara terlebih ketika era globalisasi tiba. Menjadi suatu keniscayaan apabila sebuah negara harus bekerjasama dengan negara lain bahkan lebih ekstremnya lagi memerlukan bantuan negara lain. Pola-pola hubungan antar negara menjadi bahasan penting dalam membedah perubahan sosial yang terjadi saat ini.
Selain peran negara lain (negara maju), perubahan sosial di negara-negara berkembang dipengaruhi oleh organisasi internasional dan bahkan perusahaan multi nasional. Dominasi negara maju dapat dilihat dari berbagai bantuan yang masuk ke nagara berkembang atas nama modernisasi. Modernisasi diangap sebagai jalan untuk meraih kemajuan negara berkembang. Organisasi internasional mempunyai peran yang hampir sama dengan negara maju. Berbagai kesepakatan dan kebijakan yang dihasilkan memberikan dampak yang sangat nyata bagi negara berkembang. Hal ini terjadi karena memang organisasi internasional didominasi oleh negara maju.


Analisis Hubungan Antar Negara dan Globalisasi
Ketidaksamaan menjadi dasar pemikiran dalam mengulas pola relasi antar negara. Kita sadari bahwa ketidaksamaan antar negara yang menyebabkan timbulnya pola-pola relasi tertentu. Secara garis besar pembagian negara dapat dikategorikan dalam dua kelompok besar, yaitu negara kaya dan miskin. Terdapat lima pola relasi antar negara, yaitu sistem feodal, sistem campuran, sistem kelas, sistem egalitar dan sistem plural.
Teori ala Barat merupakan pandangan yang disampaikan oleh kelompok negara maju yang tidak berideologi komunis. Bagi negara barat, hubungan antar negara menekankan pada kemerdekaan politik masing-maising negara. Suatu keadaan yang menjadi prasyarat lahirnya hubungan antar negara adalah tertib internasional. Peran lembaga internasional semacam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menjadi sangat penting untuk mewujudkan tertib hukum internasional.
Negara berkembang harus melalui jalan yang disebut dengan modernisasi untuk mencapai tahap kemajuan seperti halnya yang telah dijalani oleh negara maju. Negara maju mempunyai tanggung jawab untuk membantu negara berkembang. Negara berkembang menjadi sebuah sarana pertahanan ideologi bagi negara barat. Pertentangan dengan negara komunis dalam penyebaran ideologi pada negara berkembang menjadi alasan negara barat dalam membina hubungan harmonis dengan enagra berkembang.
Kubu negara komunis juga mempunyai teori sendiri, walaupun secara nyata terdapat perbedaan antara USSR dan RRC. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan ideologi dan kepentingan. USSR melihat masyarakat dunia sebagai keseluruhan negara-negara, yang kesemuanya tumbuh menjadi negara komunis. Tahap yang harus dilalui adalah; (1) masyarakat primitif, (2) masyarakat feodal, (3) masyarakat kapitalis, (4) masyarakat sosialis dan terakhir (5) masyarakat komunis.
USSR membedakan negara-negara di dunia dalam tiga kelompok besar, yaitu negara sosialis, negara imperialis dan negara koloni. Saat ini USSR sudah berada pada posisi yang “sempurna” sehingga layak untuk menjadi pemimpin bagi negara lainnya. RRC melihat bahwa negara-negara berkembang dalam posisi yang terjepit di tengah-tengah persaingan antara USA dan USSR. Pandnagan RRC ini didasarkan pada posisinya yang “merasa” sebagai bagian dari negara dunia ketiga.
Sebuah teori yang menggambarkan adanya “derajat” suatu negara dikemukakan oleh Balandier dan dikenal dengan teori stratifikasi sosial. Meskipun secara ideal posisi masing-masing negara di dunia adalah sejajar, namun pada kenyataannya sungguh bertolak belakang. Secara nyata kita dapat lihat adanya stratifikasi berdasarkan ekonomi yang ditentukan oleh tingkat perkembangan teknologi dan ekonomi, potensi ekonomi, tingkat perkembangan sosial ekonomi dan kemungkinan untuk mengembangkan peluang ekonomi.
Akibat dari adanya ketidaksamaan ini menimbulkan tiga pola hubungan, yaitu adanya upaya meniru negara maju oleh negara berkembang untuk meraih kesejajarannya. Kemungkinan kedua adalah negara yang mempunyai posisi sejajar saling bergabung dan berusaha untuk memperbaiki atau mempertahankan posisinya. Terakhir, tibulnya pola relasi patron klien antara negara berkembang dan negara maju.
Berangkat dari teori stratifikasi sosial, muncullah teori perjuangan kelas. Kemungkinan yang diharapkan terjadi adalah adanya kemauan untuk bergabung dan berkelompok antar negara yang mempunyai posisi sejajar sehingga membentuk kelas. Konsekuensi dari teori ini adalah akan timbulnya dua kelompok negara-negara di dunia, yaitu kelompok negara maju dan kelompok negara berkembang.
Asumsi dasar teori ketergantungan menganggap ketergantungan sebagai gejala yang sangat umum ditemui pada negara-negara dunia ketiga, disebabkan faktor eksternal, lebih sebagai masalah ekonomi dan polarisasi regional ekonomi global, dan kondisi ketergantungan adalah anti pembangunan atau tak akan pernah melahirkan pembangunan. Terbelakang adalah label untuk negara dengan kondisi teknologi dan ekonomi yang rendah diukur dari sistem kapitalis. Frank adalah penyebar pertama dependensi. Menurut Frank, modernisasi mengabaikan sejarah (ahistoris) karena telah mengabaikan kenyataan hancurnya struktur masyarakat dunia ketiga. Frank mengumpamakan hubungan hubungan negara-negara maju dengan negara dunia ketiga sebagai rangkaian hubungan dominasi dan eksploitasi antara metropolis dengan satelitnya. Lebih jauh Roxborough menyatakan bahwa terdapat peranan struktur kelas di negara dunia ketiga yang juga berperan dalam hubungan dominasi tersebut.
Santos menyatakan, bahwa ada tiga bentuk keterantungan, yaitu: ketergantungan kolonial,  ketergantungan industri keuangan, dan ketergantungan teknologi industri. Pada ketergantungan kolonial, negara dominan, yang bekerja sama dengan elit negara tergantung,  memonopoli pemilikan tanah, pertambangan, tenaga kerja, serta ekspor barang galian dan hasil bumi dari negara jajahan.
Menurut Roxborough teori imprealisme memberikan perhatian utama pada ekspansi dan dominasi kekuatan imprealis. Imprealis yang ada pada abad 20 pertama-tama melakukan ekspansi cara produksi kapitalis ke dalam cara produksi pra-kapitalis. Tujuan ekspansi tersebut ke negara ketiga pada mulanya hanyalah untuk meluaskan pasar produknya yang sudah jenuh dalam negeri sendiri, serta untuk pemenuhan bahan baku. Namun, pada pekembangan lebih jauh, ekspansi kapitalis ini adalah berupa cara-cara produksi, sampai pada struktur ekonomi, dan bahkan idelologi. Struktur ketergantungan secara bertingkat mulai dari negara pusat  sampai periferi disampaikan oleh Galtung. Imprealisme ditandai satu jalur kuat antara pusat di pusat dengan pusat di periferi.
Teori sistem dunia masih bertolak dari teori ketergantungan, namun menjelaskan lebih jauh dengan merubah unit analisisnya kepada sistem dunia, sejarah kapitalisme dunia, serta spesifikasi sejarah lokal. Menurut Wallerstein, dunia ini cukup dipandang hanya sebagai satu sistem ekonomi saja, yaitu sistem ekonomi kapitali. Negara-negara sosialis, yang kemudian terbukti juga menerima modal kapitalisme dunia, hanya dianggap satu unit saja dari tata ekonomi kapitalis dunia. Teori ini berkeyakinan bahwa tak ada negara yang dapat melepaskan diri dari ekonomi kapitalis yang mendunia. Usaha menginterpretasikan perkembangan historis kapitalisme dilakukan oleh Wallerstein dalam sejarah global dunia. Ia memandang kapitalisme sebagai suatu sistem dunia yang mempunyai pembagian kerja yang kompleks secara geografis. Sebagaimana teori dependensi, teori sistem dunia membagi sistem ekonomi kapitalis dunia menjadi pusat, semi pinggiran, dan pinggiran.
Globalisasi budaya menjadi bahan perhatian ketika sebagian ahli telah tersadar akan adanya fenomena kontak, benturan dan konflik budaya. Fenomena ini terjadi ketika kontak antara negara maju dan negara berkembang menjadi sedemikian kuatnya. Kuatnya penetrasi budaya modern membawa konsekuensi semakin terpinggirkannya budaya tradisional yang telah hidup berabad lamanya di negara berkembang.
Fenomena ini melahirkan dua tanggapan yang saling bertentangan. Sebagian antropolog melihat fenomena ini sebagai sebuahgejala imperialisme kebudayaan yang menimbulkan bencana besar. Semakin lunturnya budaya tradisional mau tidak mau menjadi sebuah akibat pasti dari kontak kebudayaan tersebut. Namun terdapat pandangan lainnya yang menyatakan bahwa peradaban sekaligus kebudayaan barat dianggap lebih baik dan bermartabat dibandingkan dengan kebudayaan tradisional. Anggapan ini lahir ketika era kolonialisme dan imperialisme.
Saat ini budaya barat berkembang dengan pesatnya di negara berkembang. Modernisasi yang dianggap tidak ubahnya sebagai westernisasi telah menggerus budaya tradisional. Negara maju dianggap memiliki kebudayaan yang lebih modern sehingga perlu ditiru oleh negara berkembang. Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi menjadi faktor yang semakin memperkuat penetrasi budaya barat pada budaya tradisional. Menjadi sebuah ketidakadilan ketika arus pertukatan budaya hanya bersifat searah, yaitu dar negara maju ke negara berkembang.

Telaah Tulisan Inglehart dan Seabrook
 Modernisasi yang menjadi pilihan untuk mencapai kemajuan oleh banyak negara berkembang telah lama menimbulkan debat berkepanjangan. Dua kubu yang berhadapan adalah Marxian dan Weberian. Kubu Marxian melihat bahwa pembangunan ekonomi, politik dan budaya memiliki kesalingterkaitan karena pembangunan ekonomi menentukan karakteristik sosial politik masyarakat. Pihak Weberian memberikan pandangan bahwa kebudayaan membentuk kehidupan ekonomi dan politik. Walaupun keduanya bertentangan, namun pada dasarnya mempunyai persamaan pendapat bahwa perubahan sosial ekonomi mengikuti suaitu pola yang dapat diramalkan.

Hubungan antara pembangunan ekonomi dan faktor ideologi menjadi bahan kajian Weber sehingga melahirkan etika protestan dan semangat kapitalismenya. Weber melihat bahwa pada wilayah Eropa yang mempunyai perkembangan industrial kapital pesat adalah wilayah yang mempunyai penganut protestan. Bagi Weber, ini bukan suatu kebetulan semata. Nilai-nilai protestan menghasilkan etik budaya yang menunjang perkembangan industrial kapitalis. Protestan Calvinis merupakan dasar pemikiran etika protestan yang menganjurkan manusia untuk bekerja keras, hidup hemat dan menabung. Pada kondisi material yang hampir sama, industrial kapital ternyata tidak berkembang di wilayah dengan mayoritas Katholik, yang tentu saja tidak mempunyai etika protestan.
Modernisasi telah membawa perubahan berupa sekulerisasi dan birokratisasi. Gejala ini terjadi di beberapa negara maju seperti USA, eropa barat dan asia. Bentuk sekularisasi dapat kita lihat dari semakin lunturnya nilai agama. Gerakan liberal serta demokrasi seakan “menghalalkan” adanya fenomena gay, lesbian dan aborsi. Fenomena ini sudah menjadi gejala yang umum dan mendapatkan banyak tantangan dari gereja (ortodoks).
Lahirnya gerakan fundamental agama, terutama Islam pada negara maju (kaya) seperti Iran dan Libya tidak dapat dikatakan sebagai sebuah “anomali” modernisasi. Hal ini dikarenakan Iran dan libya bukan merupakan negara maju hasil dari modernisasi. Kemajuan (kekayaan) Iran dan Libya merupakan hasil dari kekayaan alam terutama minyak yang melimpah dan bukan dari hasil industrialisasi via modernisasi. Penurunan nilai tradisioanl mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan pertumbuhan ekonomi. Hal inilah yang membedakan antara modenisasi dan post-modernisasi. Post-modernisasi tidak berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi.
Seabrook mengungkapkan beberapa aksi yang dilakukan oleh peraih Right Livelihood Award. Para penerima penghargaan ini telah dianggap berjasa dalam memberikan tawaran solusi masalah lingkungan, ketidakadilan sosial, pelanggaran HAM dan kemiskinan orang-orang pribumi. Sebagai dampak globalisasi, negara berkembang semakin terperosok dalam penderitaan dan lebuh tepatnya dapat dikatakan sebagai korban globalisasi via modernisasi. Berbagai kebijakan yang diambil oleh negara maju melalaui organisasi internasional seringkali ridak dapat menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Bantuan seringkali hanya dinikmati oleh kalangan elit di negara berkembang.
Post-modernisme dapat dikatakan sebagai bentuk perlawanan terhadap modernisme yang dianggap telah banyak memberikan dampak negatif daripada positif bagi pembangunan di banyak negara berkembang. Post-modernisme bukan hanya bentuk perlawanan melainkan memberikan jawaban atau alternatif model yang dirasa lebih tepat. Post-modernisme merupakan model pembangunan alternatif yang ditawarkan oleh kalangan ilmuan sosial dan LSM. Isu strategis yang diusung antara lain anti kapitalisme, ekologi, feminisme, demokratisasi dan lain sebagainya. Modernisme dianggap tidak mampu membawa isu-isu tersebut dalam proses pembangunan dan bahkan dianggap telah menghalangi perkembangan isu strategis itu sendiri. Post-modernisme dinyatakan sebagai model pembangunan alternatif karena memberikan penawaran konsep yang jauh berbeda dengan modernisme. Tekanan utama yang dibawa oleh post-modernisme terbagi dalam tiga aspek, yaitu agen pembangunan, metode dan tujuan pembangunan itu sendiri.
Pembangunan dengan basis pertumbuhan ekonomi yang diusung oleh paradigma modernisme memiliki banyak kekurangan dan dampak negatif. Pendekatan ini hanya menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan indikator GDP yang tidak mencerminkan adanya pemerataan. Kesenjangan antar penduduk mungkin saja terjadi sehingga indikator pertumbuhan ekonomi hanya mencerminkan keberhasilan semu saja. Akumulasi modal yang berhasil dihimpun sebagian besar merupakan investasi asing yang semakin memuluskan jalannya kapitalisme global.
Perkembangan paradigma pembangunan alternatif sebagai bentuk kritik sekaligus perlawanan modernisme semakin pesat seiring dengan semakin berkembangnya LSM baik dari kuantitas maupun kualitas. Posisi tawar LSM yang semakin baik terhadap pemerintah memberikan kontribusi berupa diterimanya ide-ide pembangunan yang selama ini mereka dengungkan. Faktor yang kedua adalah meningkatnya kesadaran akan pembangunan berkelanjutan yang peka terhadap isu ekologi. Modernisme selama ini dianggap sebagai pembawa kerusakan lingkungan dengan industrialisasinya. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat ternyata diiringi pula oleh meningkatnya kerusakan lingkungan. Kegagalan paradigma pembangunan yang menekankan pada pertumbuhan ekonomi pada beberapa negara berkembang, terlebih setelah terjadinya krisis moneter pada tahun 1990-an.

Penulis
Topik Kajian
Anit Analisis
Konsep Pokok
Variabel Perubahan
Schoorl
Perubahan global
Makro (hubungan antar negara)
Teori barat, teori komunisme, teori stratifikasi sosial, teori perjuangan kelas, teori ketergantungan, teori imperialisme.
Hubungan antar negara, bantuan asing, ideologi, tingkat pertumbuhan ekonomi, demografi.
Sztompka
Perubahan global dan dampak globalisasi
Makro (hubungan antar negara)
Teori imperialisme, teori ketergantungan, teori sistem dunia, globalisasi budaya.
Hubungan antar negara, pergeseran budaya, bantuan asing, pertumbuhan ekonomi.
Inglehart
Perubahan global dan dampak globalisasi
Meso (negara)
Modernisasi dan Post-modernisasi
Pergeseran nilai, tingkat pertumbuhan ekonomi (GNP)
Seabrook
Dampak globalisasi
Mikro (komunitas atau masyarakat)
Pembangunan berbasis lokalitas (”pemberdayaan”)
n/a

Sintesis
Perubahan pada tingkat global dipengaruhi oleh pola hubungan antar negara. Negara berkembang cenderung hanya sebagai “objek” perubahan yang dihasilkan oleh negara maju. Berbagai teori yang menjelaskan hubungan antar negara memberi gambaran bahwa peran negara maju dalam modernisasi menghasilkan gejala globalisasi. Globalisasi ini yang meluluhlantakan nilai budaya tradisional.
Ketidakpuasan akan modernisasi melahirkan pemikiran post-modernisasi yang mencoba menolak pengaruh perkembangan ekonomi terhadap perubahan budaya. Berbagai pengalam telah membuktikan bahwa perubahan di tingkat global tidak hanya dimonopoli oleh negara maju saja, namun negara berkembang memiliki peran dalam perubahan global tersebut. Munculnya ide pembangunan berbasisi lokalitas dapat dikatakan sebagai bentuk perlawanan terhadap modernisasi ini. Keberhasilan pembangunan di tingkat lokalitas diharapkan dapat membawa perubahan di tingkat global utamanya mengurangi ketergantungan negara berkembang dengan negara maju.

Revolusi Sosial[11]
Revolusi adalah wujud perubahan sosial paling spektakuler, sebagai tanda perpecahan mendasar dalam proses historis; pembentukan ulang masyarakat dari dalam dan pembentukan ulang manusia. Revolusi tak menyisakan apapun seperti keadaan sebelumnya. Revolusi menutup epos lama dan membuka epos baru. Di saat revolusi, masyarakat mengalami puncak agennya, meledakkan transformasi dirinya sendiri. Segera sesudah revolusi, masyarakat dan anggota seperti dihidupkan kembali, hampir menyerupai kelahiran kembali. Dalam artian ini revolusi adalah tanda kesejahteraan sosial.[12]
Dibandingkan dengan bentuk perubahan sosial lain, revolusi berbeda dalam lima hal; (1) menimbulkan perubahan dalam cakupan terluas, menyentuh semua tingkat dan dimensi masyarakat: ekonomi, politik, kultur, organisasi sosial, kehidupan sehari-hari, dan kepribadian manusia, (2) dalam semua bidang tersebut, perubahan radikal, fundamental, menyentuh inti bangunan dan fungsi sosial, (3) perubahan yang terjadi sangat cepat, tiba-tiba, seperti ledakan dinamit ditengah aliran lambat proses historis, (4) dengan semua alasan itu, revolusi adalah pertunjukkan perubahan paling menonjol; waktunya luar biasa cepat dan karena itu sangat mudah diingat. Revolusi membangkitkan emosi khusus dan reaksi intelektual pelakunya dan mengalami ledakan mobilisasi massa, antusiasme, kegemparan, kegirangan, kegembiraan, optimisme dan harapan; perasaan hebat dan perkasa; keriangan aktivisme; dan menggapa kembali makna kehidupan; melambungkan aspirasi dan pandangan utopia masa depan.[13]
Konsep revolusi modern berasal dari dua tradisi intelektual: filsafat sejarah dan sosiologi. Konsep filsafat sejarah tentang revolusi berarti terobosan radikal terhadap kontinuitas jalannya sejarah (Brinton 1965: 237). Perhatian ditujukan pada pola umum proses sejarah dan revolusi menandai terobosan kualitatif pola umum ini. Tokoh teori perkembangan sangat sering berasumsi demikian. Contoh khususnya adalah pandangan Marx tentang rentetan formasi sosial-ekonomi dimana “revolusi sosial” menandai lompatan kualitatif ke fase perkembangan lebih tinggi.[14]
Konsep sosial tentang revolusi mengacu pada penggunaan gerakan massa atau acaman paksaan dan kekerasan terhadap penguasa untuk melaksanakan perubahan mendasar dan terus-menerus dalam masyarakat mereka. Pusat perhatian bergeser dari pola menyeluruh, dari arah dan hasil akhir yang dipentingkan, ke agen penyebab, mekanisme, dan skenario alternatif dari proses sosial yang berarti bahwa orang digunakan untuk membentuk dan membentuk ulang sejarah. Revolusi dipandang sebagai perwujudan terkuat kreativitas manusia yang dinyatakan dalam tindakan kolektif disaat proses historis berada di titik kritis. Ini berarti pandangan yang lebih bebas, yang menekankan pada agen dan peluang. Konsep ini lebih khas digunakan dalam teori perubahan-sosial tokoh post-perkembangan kini. Tokoh ini membuang gagasan “hukum besi” sejarah.[15]
Cerminan kedua tradisi itu (filsafat sejarah dan sosiologi) terdapat dalam devibisi revolusi sekarang. Definisi revolusi dapat digolongkan menjadi tiga kelompok[16]; (1) revolusi mengacu pada perubahan fundamental, menyeluruh dan multidimensional, menyentuh inti tatanan sosial. Menurut pengertian ini, perombakan sebagian dari hukum dan administrasi, penggantian pemerintahan dan sebagainya tak terhitung sebagai revolusi, (2) revolusi melibatkan massa rakyat yang besar jumlahnya yang dimobilisasi dan bertindak dalam satu gerakan revolusioner. Dalam banyak kasus melibatkan pemberontakan petani (Jenkins 1982) dan pemberontakan urban. Menurut pengertian ini, meski suatu gerakan dapat menimbulkan perubahan paling dalam dan fundamental, tetapi jika dipaksakan oleh penguasa dari atas (misalnya, restorasi Meiji di Jepang, revolusi Attaturk di Turki, reformasi Nasser di Mesir, perestroika Ghorbachev) maka ia tak terhitung sebagai revolusi. Begitu pula, meski terjadi perubahan fundamental, jika ditimbulkan oleh kecenderungan sosial spontan, tak termasuk pengertian revolusi (kecuali dalam kata kiasan ketika kita berbicara tentang revolusi tehnologi atau ilmu pengetahuan, (3) Kebanyakan pakar yakin bahwa revolusi memerlukan keterlibatan kekerasan dan penggunaan kekerasan.

Teori Utama Revolusi[17]
Berikut ini dibahas empat aliran utama teori revolusi. Masing-masing adalah aliran: tindakan, psikologi, struktural, dan politik. 
Pertama, teori revolusi tindakan. Teori revolusi modern pertama diajukan oleh Sorokin tahun 1925 (1967). Kesimpulannya terutama didasarkan pada pengalaman revolusi Rusia 1917, tempat ia berpartisipasi dan memerakan peran politik tertentu. Teorinya dapat dianggap sebagai contoh pendekatan tindakan karena ia memusatkan perhatian pada tindakan individu yang menandai revolusi (1967: 367). Penyebab tindakan menyeleweng itu dicarinya dalam bidang kebutuhan dasar (naluri) individu. Pertunjukan tragedi besar, drama dan tragedi revolusi di panggung sejarah, terutama dibawa oleh naluri menindas bawaan (Ibid., h. 372). Revolusi ditandai oleh perubahan mendasar ciri perilaku manusia. Perilaku beradab cepat dibuang dan digantikan oleh perilaku seperti binatang buas yang hendak saling memangsa (Ibid., h. 372). Sorokin meneliti dan mencatat perubahan seperti itu di enam bidang: (1) transformasi reaksi terhadap ucapan, (2) penyelewengan reaksi terhadap pemilikan, (3) penyelewengan reaksi seksual, (4) penyelewengan reaksi terhadap tugas, (5) penyelewengan reaksi terhadap kekuasaan dan bawahan, (6) reaksi terhadap agama, moral, estetika dan berbagai bentuk perilaku yang dipelajari lainnya (Ibid., h. 41-169). Berbagai bentuk penyelewengan ini menghancurkan kepekaan naluriah. Orang bertindak tanpa menghiraukan kepatuhan, disiplin, aturan, dan berbagai kriteria perilaku beradap lainnya. Manusia berubah menjadi gerombolan buas manusia gila (Ibid., h. 367).
Kedua, teori revolusi psikologi. Aliran psikologi mengabaikan bidang tindakan reflek atau nalurian dasar dan beralih ke bidang orientasi sikap dan motivasi. Teori ini paling erat kaitannya dengan pemikiran akal sehat (common sense). Karena itu tak heran, teori itu paling populer dan paling rinci dari semua pendekatan yang ada. Teori paling berpengaruh diajukan oleh James Davis (1962) dan Ted Gurr (1970) dengan teori kerugian relatif. Revolusi disebabkan sindrom mental yang menyakitkan yang tersebar di kalangan rakyat, diperburuk karena menjangkiti banyak orang sehingga memotivasi perjuangan kolektif untuk meredakannya. 
Ketiga, teori revolusi struktural. Teori struktural memusatkan perhatian pada tingkat struktur makro dengan mengabaikan faktor psikologi. Menurut teori ini revolusi adalah hambatan dan ketegangan struktural dan terutama bentuk hubungan khusus tertentu antara rakyat dan pemerintah. Penyebab revolusi lebih dicari ditingkat hubungan sosial khusus, yakni dalam kondisi hubungan antar kelas dan antar kelompok (nasioal dan internasional) ketimbang di kepala rakyat, dalam arti mentalitas atau sikap mereka. Tokoh terkenal teori ini, Theda Skocpol, menyebutknya “perspektif struktural” dengan maksud untuk lebih menekankan pada hubungan dan konflik obyektif yang terjadi antar kelompok dan antar bangsa dalam revolusi tertentu (1979: 291). Dengan mengutip Eric Hibsbawm, ia menyatakan: Pentingnya bukti peran aktor dalam revolusi tak berarti bahwa mereka juga adalah pelaku, pencipta dan perencananya. (Ibid., h. 18).
Dengan membandingkan bukti historis revolusi Perancis, Rusia dan Cina, Skockpol mengahasilkan analisis struktural umum tentang penyebab, proses dan hasil ketiga revolusi itu. Revolusi itu ternyata mengikuti pola tiga tahap: (1) terjadi kehancuran struktural dan krisis politik dan ekonomi dalam rezim lama. Mereka terjepit dalam tekanan bersilang antara struktur kelas domestik dan kepentingan hubungan internasional, penguasa otokrasi, administrasi sentral dan kekuatan militernya tercerai-berai. Keadaan ini membuka jalan bagi transformasi revolusioner yang dimulai dengan pemberontakan di bawah (Ibid., h. 47), (2) krisis rezim membuka peluang pemberontakan petani dan atau buruh perkotaan. Kehancuran rezim lama adalah perlu (necessary), tetapi tak cukup (sufficient) untuk menyulut revolusi. Pemberontakan petani telah menjadi unsur huru-hara penting dalam revolusi sosial hingga kini (Ibid., h. 112-13), tetapi revolusi hanya dapat terjadi dalam kondisi kehancuran politik sebelumnya. Melemahnya kemampuan menindas dari pemerintah yang sebelumya bersatu dan terpusatlah yang akhirnya menciptakan kondisi yang secara langsung menyebabkan, atau yang pada akhirnya menguntungkan bagi, meluasnya pemberontakan petani menentang tuan tanah (Ibid., h. 117), (3) tema revolusi utama selama tahap ketiga ini adalah bidang politik yakni, konsolidasi ulang, penataan ulang, dan penyatuan ulang pemerintah dan administrasinya oleh elit politik baru yang mulai berkuasa setelah berhasil menyingkirkan rezim lama. Revolusi hanya dapat diwujudkan dengan sempurna segera setelah organisasi negara yang baru (administrasi dan militer) dikoordinasikan oleh eksekutif yang memerintah atas nama simbol revolusi yang dibentuk ditengah-tengah konflik situasi revolusioner (Ibid., h. 163). Keunikan teori Skockpol adalah penekanannya pada faktor politik dan hubungan internasional. Baik itu terciptanya situasi revolusioner maupun wujud rezim baru yang muncul dari konflik revolusioner itu, keduanya pada dasarnya tergatung pada struktur organisasi negara, derajat otonominya dan hubungan dinamis dengan kelas-kelas dan kekuatan politik dalam negeri serta posisinya dalam hubungan dengan negara lain (Ibid., h. 284). Ia memprediksi: Dalam revolusi dimasa mendatang, seperti di masa lalu, bidang kehidupan negara tetapi akan menjadi pusat perhatian (Ibid., h. 293).
Teor struktural pun dituduh berat sebelah dan mengabaikan psikologi individual. Teori jelas memusatkan perhatian pada kondisi dan dampak struktural, mengabaikan keseluruhan proses kompleks yang terjadi diantara keduanya. Ketika massa rakyat diorganisir dan dimobilisasi oleh pemimpin yang melakukan revolusi. Skockpol lupa bahwa manusia yang berfikir dan bertindak itu (meski dengan sembrono) merupakan mata rantai yang menghubungkan antara kondisi struktural dan hasil sosialnya. Kondisi struktural tak bisa menentukan secara mutlak tentang apa yang akan dilakukan manusia. Kondisi struktural semata meletakkan batas tertentu terhadap tindakan manusia atau menetapkan sederetan peluang (Kommel, et. al., 1981: 1153). Pesan kritik yang diperoleh dari analisis struktural, sama dengan yang dikemukakan sebelumnya: memerlukan pendekatan sistesis atau multidimensional. Skockpol lebih melihat analisis struktural dan voluntaris sebagai saling bertentangan ketimbang sebagai dua unsur penting dari penjelasan sosiologis yang lengkap (Ibid., h. 1154).
Keempat, teori revolusi pendekatan politik. Pendekatan ini melihat revolusi sebagai sifat fenomena politik yang muncul dari proses yang khusus terjadi dibidang politik. Revolusi dilihat sebagai akibat pergeseran keseimbangan kekuatan dan perjuangan memperebutkan hegemoni antara pesaing untuk mengendalikan negara (Aya, 1979: 49). Contoh yang baik dari pemikiran serupa itu dikemukakan oleh Tilly (1978). Ia yakin revolusi bukanlah fenomena luar biasa, kekecualian atau penyimpangan tetapi justru kelanjutan proses politik dengan cara lain. Artinya, berbagai proses politik normal dimana berbagai kelompok berupaya mewujudkan tujuannya dengan merebut kekuasaan. Revolusi adalah bentuk ekstrim pertikaian untuk mengontrol politik. Revolusi hanya akan terjadi bila pesaing mampu memobilisasi sumber daya secara besar-besaran yang diperlukan untuk merebut kekuasaan dari rezim lama (Goldstone, 1982: 193). Kondisi lebih luas untuk menempatkan revolusi secara konseptual, disebut “model negara”. Ini adalah seperangkat unsur yang saling berhubungan, diantaranya: “pemerintah” yakni organisasi yang mengontrol cara utama penggunaan paksaan terhadap rakyat. “Pesaing” yakni kelompok yang selama periode tertentu menghimpun sumber daya untuk mempegaruhi pemerintah. Pesaing ini mencakup penantang dan anggota (aparatur) negara. Anggota adalah pesaing yang memiliki akses murah untuk mendapatkan sumber daya yang dikendalikan pemerintah. Penantang adalah pesaing lainnya (Tilly, 1978: 52). Memobilisasi kekuatan revolusioner terjadi dikalangan penantang yang tak mempunyai cara lembaga dan yang sah untuk mewujudkan kepentingan mereka. Mobilisasi berarti peningkatan sumber daya yang berada dibawah kontrol kolektif penantang atau peningkatan derajat kontrol kolektif (Ibid., h. 5). Mobilisasi adalah syarat tindakan kolektif untuk mencapai tujuan akhir besama. Revolusi adalah bentuk tindakan kolektif khusus yang dibedakan oleh kondisi khusus (situasi revolusioner). Ciri terpenting situasi revolusioner adalah “kedaulatan ganda” atau dengan kata lain pelipatgandaan pemerintah yang sebelumnya dibawah kotrol tunggal kemudian menjadi sasaran persaingan antara dua atau lebih kekuatan yang berbeda. Situasi ini akan berakhir bila kontrol atas pemerintahan diraih kembali oleh kekuasaan tunggal (Ibid., h. 191). Rakyat dihadapkan sekurangnya pada dua pusat kekuasaan dengan kepentingan yang bertentangan: pemerintah terdahulu dan yang menentang. Dalam hal ini ada empat jenis situasi politik: (1) sebagai taklukan, jika suatu negara berdaulat menaklukan negara berdaulat yang lain, (2) ketika sebuah negara taklukan menyatakan kemerdekaannya (misalnya, sebuah koloni yang tunduk kepada kekuasaan asing). Pola dasar situasi ini adalah pemberontakan anti kolonial atau pemberontakan nasional, (3) ketika penantang memobilisasi dan mendapatkan kontrol atas sebagian aparatur negara, (4) ketika negara terpecah menjadi dua blok atau lebih, masing-masing blok mendapat sebagian kontrol atas pemerintahan (Ibid., h. 191-2). Revolusi meledak jika sebagian besar rakyat mengalihkan kesetiaan mereka ke pusat kekuasaan tandingan. Revolusi menang bila pengalihan kekuasaan benar-benar terjadi dan perangkat pemegang kekuasaan digantikan oleh yang lain. Revolusi besar bersifat ekstrim dalam dua hal: kekuasaan terbelah dua dan terjadi pergantian besar-besaran aparatur negara.[]





[1] Jalaluddin Rakhmat, Rekayasa Sosial; Reformasi atau Revolusi (Bandung: Remaja Rosdakarya, Cet. I., 1999) h. 103-106.
[2] Veeger, Realitas Sosial; Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi (Jakarta: Gramedia, Cet. IV., 1993) h. 26-27.
[3] Raymond Aron, Main Currens in Sociological Thought, 2 Jilid-1965 (Anchor Book Edition 1968) h. 83-84. dalam Veeger, Realitas Sosial; Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi (Jakarta: Gramedia, Cet. IV., 1993) h. 26-27.
[4] Titus Smith Nolan, Persoalan-persoalan FilsafatOp. Cit., h. 304-306.
[5] Joseph Stalin, Dialectical and Historical Materialism (New York: International Publisher, 1950) h. 8.
[6] Franscisco Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif (Yogyakarta: Kanisius, 1993) h. 53-69.
[7] Jurgen Habermas, Legitimation Crisis (Boston: Beacon Press, 1973).
[8] Franz Magnis-Suseno, Hegel, Filsafat Kritis dan Dialektika, dalam Driyarkara Tahun XVIII No. 3.
[9] Burnell and Morgan, Sociological Paradigms and Organizational Analysis London: Heinemann, 1979.
[10] Disadur dari makalah, Proses Perubahan Sosial dalam Konteks Global, Slamet Widodo (Tahun 2008).Rujukan tulisan: Inglehart, R. 1995. Changing Values, Economic Development and Political Change. International Social Sciences Journal no. 145. September 1995. Schoorl, J.W. 1980. Modernisasi; Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara Sedang Berkembang. Jakarta. PT. Gramedia. Seabrook, J. 1998. Para Perintis Perubahan. Jakarta. Yayasan obor Indonesia. Sztompka, P. 1994. The Sociology of Social Change. Oxford. Blackwell Publisher.
[11] Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, Judul Asli: The Sociology of Social Change, Penerjemah: Alimandan (Jakarta: Prenada, Cet. III., 2007) h. 357-379.
[12] Ibid., h. 357.
[13] Ibid.
[14] Ibid., h. 360.
[15] Ibid.
[16] Ibid., h. 360-362.
[17] Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, Judul Asli: The Sociology of Social Change, Penerjemah: Alimandan (Jakarta: Prenada, Cet. III., 2007) h. 366-373.


0 Response to "PARADIGMA KRITIS TRANSFORMATIF"

Post a Comment