OPERASIONALISASI
PARADIGMA KRITIS TRANSFORMATIF
[ANALISIS TEORETIK
DALAM PERPEKTIF
TEORI PERUBAHAN SOSIAL
DAN TEORI REVOLUSI SOSIAL]
Oleh: Nur Sayyid
Santoso Kristeva, M.A.
Alumnus UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta
& Pascasarjana Sosiologi Fisipol UGM,
Kader Kultural PMII Daerah Istimewa
Jogjakarta. 085 647 634 312/ nuriel.ugm@gmail.com
Prawacana
Paradigma
merupakan sesuatu yang vital bagi pergerakan organisasi, karena paradigma
merupakan titik pijak dalam membangun konstruksi pemikiran dan cara memandang
sebuah persoalan yang akan termanifestasikan dalam sikap dan dan perilaku
organisasi. Disamping itu, dengan paradigma ini pula sebuah organisasi akan
menetukan dan memilih nilai-nilai yang universal dan abstrak menjadi khusus dan
praksis operasional yang akhirnya menjadi karakteristik sebuah organisasi dan
gaya berpikir seseorang.
Organisasi
PMII selama ini belum memiliki paradigma yang secara definitive menjadi acuan
gerakan. Cara pandang dan bersikap warga pergerakan selama ini mengacu pada
nilai dasar pergerakan (NDP). Karena tidak mengacu pada kerangka paradigmatik
yang baku, upaya merumuskan dan membnagun kerangka nilai yang dapat diukur
secara sistematis dan baku, sehingga warga pergerakan sering dihadapkan pada
berbagai penafsiran atas nilai-nilai yang menjadi acuan yang akhirnya berujung
pada terjadinya keberagaman cara pandang dan tafsir atas nilai tersebut. Namun
demikian, dalam masa dua periode kepengurusan terakhir (sahabat Muhaimin
Iskandar dan sahabat Saiful Bachri Anshori) secara factual dan operasional ada
karakteristik tertentu yang berlaku dalam warga pergerakan ketika hendak
melihat, menganalisis, dan menyikapi sebuah persoalan, yaitu sikap kritis
dengan pendekatan teorti kritis. Dengan demikian secara umum telah berlaku
paradigma kritis dalam tubuh warga pergerakan. Sikap seperti ini muncul ketika
PMII mengusung sejumlah gagasan mengenai demokratisasi, civil society,
penguatan masyarakat dihadapan negara yang otoriter, sebagai upaya aktualisasi
dan implementasi atas nilai-nilai dan ajaran kegamaan yang diyakini.
Pengertian
Paradigma dalam khazanah ilmu sosial, ada beberapa pengertian paradigma yang
dibangun oleh oleh para pimikir sosiologi. Salah satu diantaranya adalah G.
Ritzer yang memberi pengertian paradigma sebagai pandangan fundamental tentang
apa yang menjadi pokok persoalan dalam ilmu. Paradigma membantu apa yang harus
dipelajari, pertanyaan yang harus dijawab, bagaimana semestinya
pertanyaan-pertanyaan itu diajukan dan aturan-aturan apa yang harus diikuti
dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh. Paradigma merupakan kesatuan
consensus yang terluas dalam suatu bidang ilmu dan membedakan antara kelompok
ilmuwan. Menggolongkan, mendefinisikan dan yang menghubungkan antara eksemplar,
teori, metode serta instrumen yang terdapat di dalamnya.
Mengingat
banyaknya difinisi yang dibentuk oleh para sosiologi, maka perlu ada pemilihan
atau perumusan yang tegas mengenai definisi paradigma yang hendak dimabil oleh
PMII. Hal ini perlu dilakukan untuk memberi batasan yang jelas mengenai
paradigma dalam pengertian komunitas PMII agar tidak terjadi perbedaan persepsi
dalam memaknai paradigma. Berdasarkan pemikiran dan rumusan yang disusun oleh
para ahli sosiologi, maka pengertian paradigma dalam masyarakat PMII dapat
dirumuskan sebagai titik pijak untuk menentukan cara pandang, menyusun sebuah
teori, menyusun pertanyaan dan membuat rumusan mengenai suatu masalah.
Lewat
paradigma ini pemikiran seseorang dapat dikenali dalam melihat dan melakukan
analisis terhadap suatu masalah. Dengan kata lain, paradigma merupakan cara
dalam “mendekati”obyek kajianya (the subject matter of particular dicipline)
yang ada dalam ilmu pengetahuan. Orientasi atau pendekatan umum (general
orientations) ini didasarkan pada asumsi-asumsi yang dibangun dalam kaitan
dengan bagaimana “realitas” dilihat. Perbedaan paradigma yang digunakan oleg
seseorang dalam memandang suatu masalah, akan berakibat pada timbulnya
perbedaan dalam menyusun teori, membuat konstruk pemikiran, cara pandang,
sampai pada aksi dan solusi yang diambil. Pilihan Paradigma PMII disamping
terdapat banyak pengertian mengenai paradigma, dalam ilmu sosial ada berbagai
macam jenis paradigma. Melihat realitas yang ada di masyarakat dan sesuai
dengan tuntutan keadaan masyarakat PMII baik secara sosiologis, politis dan
antropologis maka PMII memilih paradigma kritis-transformatif sebagai pijakan
gerakan organisasi.
Paradigma
Kritis-Transformatif PMII
Dari
penelusuran yang cermat atas paradigma kritis, terlihat bahwa paradigma kritis
sepenuhnya merupakan proses pemikiran manusia. Dengan demikian ia adalah secular.
Kenyataan ini yang membuat PMII dilematis, karena akan mendapat tuduhan secular
jika pola pikir tersebut diberlakukan. Untuk menghindari tudingan tersebut,
maka diperlukan adanya reformulasi penerapan paradigma kritis dalam tubuh warga
pergerakan. Dalam hal ini, paradigma kritis diberlakukan hanya sebatas sebagai
kerangka berpikir dan metode analisis dalam memandang persoalan. Dengan
sendirinya ia harus diletakkan pada posisi tidak diluar dari ketentuan agama,
sebaliknya justru ingin mengembalikan dan memfungsikan ajaran agama yang
sesungguhnya sebagaimana mestinya. Dalam hal ini penerapan paradigma kritis
bukan menyentuh pada hal-hal yang sifatnya sacral, tetapi pada pesoalan yang
profan.
Lewat
paradigma kritis di PMII berupaya menegakkan sikap kritis dalam berkehidupan
dengan menjadikan ajaran agama sebagai inspirasi yang hidup dan dinamis.
Sebagaimana dijelaskan di atas, pertama, paradigma krirtis berupaya
menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan dari berbagai belenggu yang
diakibatkan oleh proses sosial yang bersifat profan. Kedua,
paradigma kritis melawan segala bentuk dominasi dan penindasan. Ketiga,
paradigma kritis membuka tabir dan selubung pengetahuan yang munafik dan
hegemonic. Semua ini adalah semangat yang dikandung oleh Islam. Oleh karenanya,
pokok-pokok pikiran inilah yang dapat diterima sebagai titik pijak paradigma
kritis di kalangan warga PMII. Contoh yang paling konkrit dalam hal ini bisa
ditunjuk pola pemikiran yang menggunakan paradigma kritis dari berbagai
intelektual Islam diantaranya:
Hassan Hanafi
Penerapan
paradigma kritis oleh Hasan Hanafi ini terlihat jelas dalam konstruksi
pemikiranya terhadap agama. Dia menyatakan untuk memperbaharui masyarakat Islam
yang mengalami ketertingalan dalam segala hal, pertama-tama diperlukan analisis
sosial. Menurutnya selama ini Islam mengandalkan otoritas teks kedalam
kenyataan. Dia menemukan kelemahan mendasar dalam metodologi ini. pada titik
ini dia memberikan kritik tajam terhadap metode trandisional teks yang telah
mengalami ideologis. Untuk mengembalikan peran agama dalam menjawab problem
sosial yang dihadapi masyarakat, Hasan Hanafi mencoba menggunakan metode
“kritik Islam” yaitu metode pendefinisian realitas secara kongkret untuk
mengetahui siapa memiliki apa, agar realitas berbicara dengan dirinya sendiri.
Sebagai realisasi dari metode ini, dia menawarkan “desentralisasi Ideologi”
dengan cara menjalankan teologi sebagai antropologi. Pikiran ini dimaksudkan
untuk menyelamatkan Islam agar tidak semata-mata menjadi sistem kepercayaan
(sebagai teologi parexellence), melainkan juga sebagai sistem
pemikiran. Usaha Hasan Hanafi ini ditempuh dengan mengadakan rekontruksi
terhadap teologi tradisional yang telah mengalami pembekuan dengan memasukkan
hermeneutika dan ilmu sosial sebagai bagian integral dari teologi. Untuk
menjelaskan teologi menjadi antropologi, Hanafi memaknai teologi sebagai Ilmu
Kalam. Kalam merupakan realitas menusia sekaligus Ilahi. Kalam bersifat
manusiawi karena merupakan wujud verbal dari kehendak Allah kedalam bentuk
manusia dan bersifat Ilahi karena datang dari Allah.
Dalam pemikiran
Hanafi, kalam lebih besifat “praktis” dari pada “logis”, karena kalam sebagi
kehendak Allah-memiliki daya imperaktif bagi siapapun kalam itu disampaikan. Pandangan Hanafi tentang teologi ini berbeda dengan
teologi Islam yang secara tradisional dimengerti sebagai ilmu yang berkenaan
dengan pandangan mengenai akidah yang benar. Mutakallimin sering
disebut sebagai “ahl al-ra’yu wa al-nadaar” yang muncul untuk
menghadapi “ahl-albid’ah” yang mengancam kebenaran akidah Islam. Dua kelompok
ini akhirnya berhadapan secara dialektis. Akan tetapi dialektika mereka
bukanlah dialektika tindakana, tetapi dialektika kata-kata. Gagasan teologi
sebagai antropologi yang disampaikan oleh Hasan Hanafi sebenarnya justru ingin
menempatkan ilmu kalam sebagai ilmu tentang dialektika kepentingan orang-orang
yang beriman dalam masyarakat tertentu. Dalam pemikiran Hassan Hanafi, ungkapan
“teologi menjadi antropologi” merupakan cara ilmiah untuk mengatasi
ketersinggungan teologi itu sendiri. Cara ini dilakukan melalui pembalikan
sebagaimana pernah dilakukan oleh Karl Marx terhadap filasafat Hegel. Upaya ini
tampak secara provokatif dalam artikelnya “ideologi dan pembangunan “lewat
sub-judul; dari tuhan ke bumi, dari keabadian ke waktu, dari taqdie ke hendak
bebas, dan dari otoritas ke akal, dari teologi ke tindakan, dari kharisma ke
partisipasi massa, dari jiwa ke tubuh, dari eskatologi ke futurology.
Mohammad Arkoun
Arkoun menilai bahwa
pemikiran Islam, kecuali dalam beberapa usaha pembaharuan kritis yang bersifat
sangat jarang dan mempunyai ruang perkembangan yang sempit sekali, belum
membuka diri pada kemodernan pemikiran dan karena itu tidak dapat menjawab
tantangan yang dihadapi umat muslim kontemporer. Pemikiran
Islam dianggapnya “naif” karena mendekati agama atas dasar kepercayaan langsung
tanpa kritik. Pemikiran Islam tidak menyadari jarak antara makna potensial
terbuka yang diberikan wahyu Ilahi dan aktualisasi makna itu dalam sejumlah
makna yang diaktualisasikan dan dijelmakan dalam berbagai cara pemahaman,
penceritaan dan penalaran khas masyarakat teetentu ataupun dalam berbagai
wacana khas ajaran teologi dan fiqh tertentu. Pemikiran Islam juga tidak
menyadari bahwa dalam proses itu bukan hanya pemahaman dan penafsiran tertentu
ditetapkan dan diakui, melainkan pemahaman dan penafsiran lain justru
disingkirkan. Hal-hal itu baru didalami oleh berbagai ilmu pengetahuan modern,
yang ingin dimasukkan arkoun ke dalam pemikiran Islam.Karena krituknya terlalu
krirtis ini, Arkoun sering memberikan jawaban diluar kelazimanumat Islam (Uncommon
Answer) ketika menjawab problem-prolem kehidupan yang dialami umat Islam.
Jawaban seperti inu terlihat jelas dalam penerapan teori pengetahuan (theory
of knowledge).
Teori
pengetahuan ini meliputi landasan epistimpologi kajian tentang studi–studi
agama Islam. Dalam hal ini Arkoun membedakan wacana ideologis, wacana rasional,
dan wacana profetis. Setiap wacana memiliki watak yang berbeda sehingga
diperlukan kesesuaian dengan wataknya. Selama ini orang dengan mudah menyatakan
melakukan kajian secara ilmiah, akan tetapi itu tidak hanya dilakukan oleh
orang-orang muslim, melainkan juga oleh orang-orang barat yang mengideologikan
sikap mereka dalam memandang Islam. Salah satu corak ideologi adalah unsur
kemadegan (tidak dinamis), resistensi (tidak kritis) dan demi kekuatan (tidak
transformatif). Untuk merealisasikan jawaban tersebut Arkoun berusaha meletakkan
dogma, interpretasi dan teks secara proporsional. Upaya ini dilakukan untuk
membuka dialog terus-menerus antara agama dengan realitas untuk menentukan
wilayah-wilayah mana dari agama yang bisa didialogkan dan diinterpretasikan
sesuai dengan konteksnya. Kedua pola pikir dari intelektaual Islam di atas
merupakan sedikit contoh yang bisa dijadikan model bagaimana paradigma kritis
diberlakukan dalam wilayah pemikiran keagamaan.
Disamping kedua
pemikir Islam diatas sebenarnya masih banyalk pemikir lain yang menerapkan
pemikiran kritis dalam mendekati agama, misalnya Abdullah Ahmed An-naim, Asghar
Ali Enggineer, Thoha Husein, dan sebagainya. Dari
kedua contoh diatas terlihat bahwa paradigma kritis sebenarnya berupaya
membebaskan manusia dengan semangat dan ajaran agama yang lebih fungsional.
Dengan kata lain, kalau paradigma kritis Barat berdasarkan pada semangat
revolusioner sekuler dan dorongan kepentingan sebagai dasar pijakan, maka
paradigma kritis PMII justru menjadikan nilai-nilai agama yang terjebak dalam
dogmatisme itu sebagai pijakan untuk membangkitkan sikap kritis melawan
belenggu yang kadang disebabkan oleh pemahaman yang distortif.Jelas ini
terlihat ada perbedaan yang mendasar penerapan paradigma kritis antara barat
dengan Islam (yang diterapkan PMII). Namun demikian harus diakui adanya
persamaan antara keduanya yaitu dalam metode analisa, bangunan teoritik dan
semangat pembebasan yang terkandung didalamnya. Jika paradigma kritis ini bisa
diterapkan dikalangan warga pergerakan, maka kehidupan keagamaan akan berjalan
dinamis, berjalanya proses pembentukan kultur demokratis dan penguatan civil
society akan segera dapat terwujud. Dan kenyataan ini terwujud manakala
masing-masing anggota PMII memahami secara mendalam pengertian, kerangka
paradigmatic dan konsep teoritis dari paradigma kritis yang dibangun oleh PMII.
Dalam pandangan PMII, paradigma kritis saja tidak cukup untuk melakukan
transformasi sosial, karena paradigma kritis hanya berhenti pada dataran
metodologis konsepsional untuk mewujudkan masyarakat yang komunikatif dan sikap
kritis dalam memandang realitas. Paradigma kritis hanya mampu menelanjangi
berbagai tendensi ideologi, memberikan perspektif kritis dalam wacana agama dan
sosial, namun ia tidak mampu memberikan perspektif perubahan pasca masyarakat
terbebaskan. Pasca seseorang terbebaskan melalui perspektif kritis, paradigma
kritis tidak memberikan tawaran yang praktis. Dengan kata lain, paradigma
kritis hanya mampu melakukan analisis tetapi tidak mampu melakukan organizing,
menjembatani dan memberikan orientasi kepada kelompok gerakan atau rakyat.
Paradigma kritis masih signifikan untuk digunakan sebagai alat analisis social,
tetapi kurang mampu untuk digunakan dalam perubahan sosial. Karena ia tidak
dapat memberikan perspektif dan orientasi sebagai kekuatan bersejarah dalam
masyarakat untuk bergerak. Karenanya, paradigma kritis yang digunakan di PMII
adalah kritik yang mampu mewujudkan perubahan sehingga menjadi paradigma kritis
transformatif. Paradigma kritis transformatif PMII dipilih sebagai upaya
menjembatani kekurangan-kekurangan yang ada dalam paradigma kritis pada
wilayah-wilayah turunan dari bacaan kritisnya terhadap realitas. Dengan
demikian paradigma kritis transformatif dituntut untuk memiliki
instrumen-instrumen gerak yang bisa digunakan oleh PMII mulai dari ranah
filosofis sampai praksis.
Dasar Pemikiran
Paradigma Kritis Transformatif PMII.
Ada bebarapa alasan
yang menyebabkan PMII harus memilih paradigma kritis sebagai dasar untuk
bertindak dan mengaplikasikan pemikiran serta menyusun cara pandang dalam
melakukan analisa: Pertama, masyarakat Indonesia saat ini sedang
terbelenggu oleh nilai-nilai kapitalisme modern. Kesadaran
masyarakat dikekang dan diarahkan pada satu titik yaitu budaya massa
kapitalisme dan pola pikir positivistic modernisme. Pemikiran-pemikiran seperti
ini sekarang telah menjadi sebuah berhala yang mengahruskan semua orang untuk
mengikatkan diri padanya. Siapa yang tidak melakukan, dia akan ditinggalkan dan
dipinggirkan. Eksistensinya-pun tidak diakui. Akibatnya jelas, kreatifitas dan
pola pikir manusia menjadi tidak berkembang. Dalam kondisi seperti ini maka
penerapan paradigma kritis menjadi suatu keniscayaan.
Kedua, masyarakat Indonesia
adalah masyarakat yang majemuk, baik etnik, tradisi, kultur maupun kepercayaan.
Kondisi seperti ini sangat memerlukan paradigma kritis, karena paradigma ini
akan memberikan tempat yang sama bagi setiap individu maupun kelompok
masyarakat untuk mengembangkan potensi diri dan kreatifitasnya secara maksimal
melalui dialog yang terbuka dan jujur. Dengan demikian potensi tradisi akan
bisa dikembangkan secara maksimal untuk kemanusiaan.
Ketiga, sebagaimana kita
ketahui selama pemerintahan Orde Baru berjalan sebuah sistem politik yang
represif dan otoriter dengan pola yang hegemonic. Akibatnya ruang publik (public
sphere) masyarakat hilang karena direnggut oleh kekuatan negara. Dampak
lanjutannya adalah berkembangnya budaya bisu dalam masyarakat, sehingga proses
demokratisasi terganggu karena sikap kritis diberangus. Untuk mengembangkan
budaya demokratis dan memperkuat civil society dihadapan negara, maka paradigma
kritis merupakan alternatif yang tepat.
Keempat, selama
pemerintahan orde baru yang menggunakan paradigma keteraturan (order paradigma)
dengan teori-teori modern yang direpresentasikan melalui ideologi
developmentalisme, warga PMII mengalami proses marginalisasi secara hampir
sempurna. Hal ini karena PMII dianggap sebagai wakil dari masyarakat tardisional.
Selain itu, paradigma keteraturan memiliki konsekuensi logis bahwa pemerintah
harus menjaga harmoni dan keseimbangan social yang meniscayakan adanya gejolak
social yang harus ditekan seecil apapun. Sementara perubahan harus berjalan
secara gradual dan perlahan. Dalam suasana demikian, massa PMII secara
sosilogis akan sulit berkembangkarena tidak memiliki ruang yang memadai untuk
mengembangkan diri, mengimplementasikan kreatifitas dan potensi dirinya.
Kelima, Selain belenggu
sosial politik yang dilakukan oleh negara dan sistem kapitalisme global yang
terjadi sebagai akibat perkembangan situasi, factor yang secara spesifik
terjadi dikalangan PMII adalah kuatnya belenggu dogmatisme agama dan tradisi.
Dampaknya, secara tidak sadar telah terjadi berbagai pemahaman yang distortif
mengenai ajaran dan fungsi agama. Terjadi dogmatisme agama yang berdampak pada
kesulitan membedakan mana yang dogma dan mana yang pemikiran terhadap dogma.
Agamapun menjadi kering dan beku, bahkan tidak jarang agama justru menjadi penghalang
bagi kemajuan dan upaya penegakan nilai kemanusiaan. Menjadi penting artinya
sebuah upaya dekonstruksi pemahaman keagamaan melalui paradigma kritis.
Apakah Paradigma itu?
Paradigma pertama kali
diperkenalkan oleh Thomas Khun, seorang ahli fisika teoritik, dalam bukunya “The
Structure Of Scientific Revolution”, yang dipopulerkan oleh Robert
Friederichs (The Sociologi Of Sociology;1970), Lodhal dan Cardon (1972),
Effrat (1972), dan Philips (1973). Sementara Khun sendiri, seperti ditulis
Ritzer (1980) tidak mendefinisikan secara jelas pengertian paradigma. Bahkan
menggunakan kata paradigma dalam 21 konteks yang berbeda. Namun dari 21
pengertian tersebut oleh Masterman diklasifikasikan dalam tiga pengertian
paradigma.
- Paradigma metafisik yang mengacu pada sesuatu
yang menjadi pusat kajian ilmuwan.
- Paradigma Sosiologi yang mengacu pada suatu
kebiasaan sosial masyarakat atau penemuan teori yang diterima secara umum.
- Paradigma Konstrak sebagai sesuatu yang mendasari
bangunan konsep dalam lingkup tertentu, misalnya paradigma pembangunan,
paradigma pergerakan dll.
Masterman sendiri
merumuskan paradigma sebagai “pandangan mendasar dari suatu ilmu yang menjadi
pokok persoalan yang dipelajari (a fundamental image a dicipline has of
its subject matter).Sedangkan George Ritzer mengartikan paradigma sebagai
apa yang harus dipelajari, persoalan-persoalan apa yang mesti dipelajari,
bagaimana seharusnya menjawabnya, serta seperangkat aturan tafsir sosial dalam
menjawab persoalan-persoalan tersebut. Maka, jika dirumuskan secara sederhana
sesungguhnya paradigma adalah “How to see the Word” semacam
kaca mata untuk melihat, memaknai, menafsirkan masyarakat atau realitas sosial.
Tafsir sosial ini kemudian menurunkan respon sosial yang memandu arahan
pergerakan.
Apakah yang disebut Teori kritis ?
Apa sebenarnya makna “Kritis”?
Menurut kamus ilmiah populer, kritis adalah Tajam/ tegas dan teliti
dalam menanggapi atau memberikan penilaian secara mendalam. Sehingga
teori kritis adalah teori yang berusaha melakukan analisa secara tajam dan
teliti terhadap realitas. Secara historis, berbicara tentang teori kritis tidak
bisa lepas dari Madzhab Frankfurt. Dengan kata lain, teori kritis
merupakan produk dari institute penelitian sosial, Universitas Frankfurt Jerman
yang digawangi oleh kalangan neo-marxis Jerman. Teori Kritis menjadi disputasi
publik di kalangan filsafat sosial dan sosiologi pada tahun 1961. Konfrontasi
intelektual yang cukup terkenal adalah perdebatan epistemologi sosial antara
Adorno (kubu Sekolah Frankfurt–paradigma kritis) dengan Karl Popper (kubu
Sekolah Wina–paradigma neo-positivisme/ neo-kantian). Konfrontasi berlanjut
antara Hans Albert (kubu Popper) dengan Jürgen Habermas (kubu Adorno).
Perdebatan ini memacu debat positivisme dalam sosiologi Jerman. Habermas adalah
tokoh yang berhasil mengintegrasikan metode analitis ke dalam pemikiran
dialektis Teori Kritis.
Teori kritis adalah
anak cabang pemikiran marxis dan sekaligus cabang marxisme yang paling jauh
meninggalkan Karl Marx (Frankfurter Schule). Cara dan ciri pemikiran
aliran Frankfurt disebut ciri teori kritik masyarakat “eine Kritische
Theorie der Gesselschaft”. Teori ini mau mencoba memperbaharui dan
merekonstruksi teori yang membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi
modern. Ciri khas dari teori kritik masyarakat adalah bahwa teori tersebut
bertitik tolak dari inspirasi pemikiran sosial Karl Marx, tapi juga sekaligus
melampaui bangunan ideologis marxisme bahkan meninggalkan beberapa tema pokok
Marx dan menghadapi masalah masyarakat industri maju secara baru dan kreatif.
Beberapa tokoh Teori Kritis angkatan pertama adalah Max Horkheimer, Theodor
Wiesengrund Adorno (musikus, ahli sastra, psikolog dan filsuf), Friedrich
Pollock (ekonom), Erich Fromm (ahli psikoanalisa Freud), Karl Wittfogel (sinolog),
Leo Lowenthal (sosiolog), Walter Benjamin (kritikus sastra), Herbert Marcuse
(murid Heidegger yang mencoba menggabungkan fenomenologi dan marxisme, yang
juga selanjutnya Marcuse menjadi “nabi” gerakan New Left di
Amerika). Pada intinya madzhab Frankfurt tidak puas atas teori Negara Marxian
yang terlalu bertendensi determinisme ekonomi. Determinisme ekonomi berasumsi
bahwa perubahan akan terjadi apabila masalah ekonomi sudah stabil. Jadi basic
strurtur (ekonomi) sangat menentukan supras truktur (politik,
sosial, budaya, pendidikan dan seluruh dimensi kehidupan manusia).
Kemudian mereka
mengembangkan kritik terhadap masyarakat dan berbagai sistem pengetahuan.
Teori kritis tidak hanya menumpukkan analisisnya pada struktur sosial,
tapi teori kritis juga memberikan perhatian pada kebudayaan masyarakat (culture
society). Seluruh program teori kritis Madzhab Frankfurt dapat dikembalikan
pada sebuah manifesto yang ditulis di dalam Zeischrift tahun
1957 oleh Horkheimer. Dalam artikel tentang “Teori Tradisional dan teori
Kritik” (Traditionelle und KritischeTheorie) ini, konsep
“Teori kritis” pertama kalinya muncul. Tokoh utama teori kritis ini adalah Max
Horkheimer (1895-1973), Theodor Wiesengrund Adorno (1903-1969) dan Herbert
Marcuse (1898-1979) yang kemudian dilanjutkan oleh Generasi kedua mazhab
Frankfurt yaitu Jurgen Habermas yang terkenal dengan teori komunikasinya.
Diungkapkan Goerge Ritzer, secara
ringkas teori kritis berfungsi untuk mengkritisi :
- Teori Marxian yang deterministic yang menumpukan
semua persoalan pada bidang ekonomi;
- Positivisme dalam Sosiologi yang mencangkok
metode sains eksak dalam wilayah sosial-humaniora katakanlah kritik
epistimologi;
- Teori- teori sosiologi yang kebanyakan hanya
memperpanjang status quo;
- Kritik terhadap masyarakat modern yang terjebal
pada irrasionalitas, nalar teknologis,nalar instrumental yang gagal
membebaskan manusia dari dominasi;
- Kritik kebudayaan yang dianggap hanya menghancurkan otentisitas kemanusiaan.
Madzhab Frankfrut mengkarakterisasikan
berpikir kritis dengan empat hal :
- Berpikir dalam totalitas
(dialektis);
- Berpikir
empiris-historis;
- Berpikir dalam kesatuan teori dan
praksis;
- Berpikir dalam realitas yang tengah dan terus
bekerja (working reality).
Pengertian ‘Kritik’ dalam Tradisi Teori
Kritis
Mereka mengembangkan
apa yang disebut dengan kritik ideology atau kritik dominasi. Sasaran kritik
ini bukan hanya pada struktur sosial namun juga pada ideologi dominan dalam
masyarakat. Teori Kritis berangkat dari 4 (empat sumber) kritik yang dikonseptualisasikan
oleh Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx dan Sigmund Freud.
1. Kritik dalam
pengertian Kantian.
Immanuel Kant melihat
teori kritis dari pengambilan suatu ilmu pengetahuan secara subyektif sehingga
akan membentuk paradigma segala sesuatu secara subyektif pula. Kant menumpukkan
analisisnya pada aras epistemologis; tradisi filsafat yang bergulat pada
persoalan “isi” pengetahuan. Untuk menemukan kebenaran, Kant
mempertanyakan “condition of possibility” bagi pengetahuan.
Bisa juga disederhanakan bahwa kitik Kant terhadap epistemologi tentang (kapasitas
rasio dalam persoalan pengetahuam) bahwa rasio dapat menjadi kritis
terhadap kemampuannya sendiri dan dapat menjadi ‘pengadilan tinggi’. Kritik ini
bersifat transendental. Kritik dalam pengertian pemikiran Kantian adalah kritik
sebagai kegiatan menguji kesahihan klaim pengetahuan tanpa
prasangka.
2. Kritik dalam Arti
Hegelian.
Kritik dalam makna
Hegelian merupakan kritik terhadap pemikiran kritis Kantian. Menurut Hegel,
Kant berambisi membangun suatu “meta-teori” untuk menguji validitas suatu
teori. Menurut Hegel pengertian kritis merupakan refleksi-diri dalam
upaya menempuh pergulatan panjang menuju ruh absolute. Hegel merupakan
peletak dasar metode berpikir dialektis yang diadopsi dari prinsip
tri-angle-nya Spinoza Diktumnya yang terkenal adalah therational is
real, the real is rational. Sehingga, berbeda dengan Kant, Hegel
memandang teori kritis sebagai proses totalitas berfikir. Dengan kata
lain, kebenaran muncul atau kritisisme bisa tumbuh apabila terjadi benturan dan
pengingkaran atas sesuatu yang sudah ada. Kritik dalam pengertian Hegel
didefinisikan sebagai refleksi diri atas tekanan dan kontradiksi yang
menghambat proses pembentukan diri-rasio dalam sejarah manusia.
3. Kritik dalam Arti
Marxian.
Menurut Marx, konsep
Hegel seperti orang berjalan dengan kepala. Ini adalah terbalik. Dialektika
Hegelian dipandang terlalu idealis, yang memandang bahwa, yang berdialektika
adalah pikiran. Ini kesalahan serius sebab yang berdialektika adalah
kekuatan-kekuatan material dalam masyarakat. Pikiran hanya refleksi dari
kekuatan material (modal produksi masyarakat). Sehingga teori kritisbagi Marx
sebagai usaha mengemansipasi diri dari penindasan dan elienasi yang dihasilkan
oleh penguasa di dalam masyarakat. Kritik dalam pengertian Marxian berarti
usaha untuk mengemansipasi diri dari alienasi atau keterasingan yang dihasilkan
oeh hubungan kekuasaan dalam masyarakat.
4. Kritik dalam Arti
Freudian.
Madzhab frankfrut menerima
Sigmun Freud karena analisis Freudian mampu memberikan basis psikologis
masyarakat dan mampu membongkar konstruk kesadaran dan pemberdayaan masyarakat.
Freud memandang teori kritis dengan refleksi dan analisis
psikoanalisanya. Artinya, bahwa orang bisa melakukan sesuatu karena didorong
oleh keinginan untuk hidupnya sehingga manusia melakukan perubahan dalam
dirinya. Kritik dalam pengertian Freudian adalah refleksi atas konflik psikis
yang menghasilkan represi dan memanipulasi kesadaran. Adopsi Teori Kritis atas
pemikiran Freudian yang sangat psikologistik dianggap sebagai pengkhianatan
terhadap ortodoksi marxisme klasik.
Berdasarkan empat
pengertian kritis di atas, teori kritis adalah teori yang bukan hanya sekedar
kontemplasi pasif prinsip-prinsip obyektif realitas, melainkan bersifat
emansipatoris. Sedang teori yang emansipatoris harus memenuhi tiga syarat
: Pertama, bersifat kritis dan curiga terhadap segala sesuatu
yang terjadi pada zamannya. Kedua, berfikir secara historis,
artinya selalu melihat proses perkembangan masyarakat. Ketiga, tidak
memisahkan teori dan praksis. Tidak melepaskan fakta dari nilai semata-mata
untuk mendapatkan hasil yang obyektif.
Tiga Jenis Utama Paradigma
Paradigma Kritis;
Sebuah Sintesis Perkembangan Paradigma Sosial: William Perdue, menyatakan dalam
ilmu sosial dikenal adanya tiga jenis utama paradigma:
1. Order Paradigm
(Paradigma Keteraturan).
Inti dari paradigma
keteraturan adalah bahwa masyarakat dipandang sebagai sistem sosial yang
terdiri dari bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling
menyatu dalam keseimbangan sistemik. Asumsi dasarnya adalah bahwa: Setiap
struktur sosial adalah fungsional terhadap struktur lainnya. Kemiskinan,
peperangan, perbudakan misalnya, merupakan suatu yang wajar, sebab fungsional
terhadap masyarakat. Ini yang kemudian melahirkan teori strukturalisme
fungsional. Secara eksternal paradigma ini dituduh a historis, konservatif,
pro-satus quo dan karenanya, anti-perubahan. Paradigma ini mengingkari hukum
kekuasaan : setiap ada kekuasaan senantiasa ada perlawanan. Untuk
memahami pola pemikiran paradigma keteraturan dapat dilihat skema berikut:
Elemen Paradigmatik
|
Asumsi dasar
|
Type ideal
|
Imajinasi
sifat dasar manusia
|
Rasional,
memiliki kepentingan pribadi, ketidakseimbangan personal dan berpotensi
memunculkan dis integrasi sosial
|
Pandangan
hobes mengenai konsep dasar Negara
|
Imajinasi
tentang masyarakat
|
Consensus,
kohesif/fungsional struktural, ketidakseimbangan sosial, ahistoris,
konservatif, pro-status quo, anti perubahan
|
Negara
Republic Plato
|
Imajinasi
ilmu pengetahuan
|
Sistematic,
positivistic, kuantitatif dan prediktif.
|
Fungsionalisme
Auguste Comte, fungsionalisme Durkheim, fungsionalisme struktural Talcot
Parson
|
2. Conflic Paradigm (Paradigma Konflik)
Secara konseptual
paradigma Konflik menyerang paradigma keteraturan yang mengabaikan kenyataan
bahwa: Setiap unsur-unsur sosial dalam dirinya mengandung
kontradiksi-kontradiksi internal yang menjadi prinsip penggerak perubahan.
Perubahan tidak selalu gradual; namun juga revolusioner. Dalam jangka panjang
sistem sosial harus mengalami konflik sosial dalam lingkar setan (vicious
circle)tak berujung pangkal Kritik itulah yang kemudian dikembangkan lebih
lanjut menjadi paradigma konflik. Konflik dipandang sebagai inhern dalam setiap
komunitas, tak mungkin dikebiri, apalagi dihilangkan. Konflik menjadi
instrument perubahan. Untuk memahami pola pemikiran paradigma konflik dapat
dilihat skema berikut:
Elemen paradigmatik
|
Asumsi dasar
|
Type ideal
|
Imajinasi sifat
dasar manusia
|
Rasional,kooperatif,
sempurna
|
Konsep
homo feber hegel
|
Imajinasi
tentang masyarakat
|
Integrasi
sosial terjadi karena adanya dominasi, konflik menjadi instrument perubahan,
utopia
|
Negara
Republic plato
|
Imajinasi
ilmu pengetahuan
|
Filsafat
materialisme, histories, holistic, dan terapan
|
Materialisme
historis marx
|
3. Plural Paradigm (Paradigma plural)
Dari kontras atau
perbedaan antara paradigma keteraturan dan paradigma konflik tersebut
melahirkan upaya membangun sintesis keduanya yang melahirkan paradigma plural.
Paradigma plural memandang manusia sebagai sosok yang independent, bebas dan
memiliki otoritas serta otonomi untuk melakukan pemaknaan dan menafsirkan
realitas sosial yang ada disekitarnya. Untuk memahami pola pemikiran paradigma
plural dapat dilihat skema berikut:
Elemen paradigmatik
|
Asumsi dasar
|
Type ideal
|
Imajinasi
sifat dasar manusia
|
Manusia
bertindak atas kesadaran subyektif, memiliki kebebasan menafsirkan
realitas/aktif
|
Konsep
kesadarn diri imanuel kant
|
Imajinasi tentang
masyarakat
|
Struktur
internal yang membentuk kesadaran manusia, kontrak sosial sebagai mekanisme
control.
|
Konsep
kontrak sosial J.J Rousseau
|
Imajinasi
ilmu pengetahuan
|
Filsafat
idealisme, tindakan manusia tidak dapat diprediksi
|
Metode
verstehen Weber
|
Terbentuknya Paradigma Kritis
Ketiga paradigma di
atas merupakan pijakan-pijakan untuk membangun paradigma baru. Dari optic
pertumbuhan teori sosiologi telah lahir Paradigma kritis setelah dilakukan
elaborasi antara paradigma pluralis dan paradigma konflik. Paradigma pluralis
memberikan dasar pada paradigma kritis terkait denganasumsinya bahwa manusia
merupakan sosok yang independent, bebas dan memiliki otoritas untuk menafsirkan
realitas. Sedangkan paradigma konflik mempertajam paradigma kritis
dengan asumsinya tentang adanya pembongkaran atas dominasi satu kelompok pada
kelompok yang lain.
Apabila
disimpulkan apa yang disebut dengan paradigma kritis adalah paradigma yang
dalam melakukan tafsir sosial atau pembacaan terhadap realitas masyarakat bertumpu
pada:
1. Analisis struktural:
membaca format politik, format ekonomi dan politik hukum suatu masyarakat,
untuk menelusuri nalar dan mekanisme sosialnya untuk membongkar pola dan relasi
sosial yang hegeminik, dominatif, dan eksploitatif.
2. Analisis ekonomi untuk
menemukan fariabel ekonomi politikbaik pada level nasional maupun
internasional.
3. Analisis kritis yang
membongkar “the dominant ideology” baik itu berakar pada agama, nilai-nilai
adat, ilmu atau filsafat. Membongkar logika dan mekanisme formasi suatu wacana
resmi dan pola-pola eksklusi antar wacana.
4. Psikoanalisis yang
akan membongkar kesadaran palsu di masyarakat.
5. Analisis kesejarahan
yang menelusuri dialektika antar tesis-tesis sejarah, ideologi, filsafat,
actor-aktor sejarah baik dalam level individual maupun sosial, kemajuan dan
kemunduran suatu masyarakat.
Kritis dan Transformatif
Namun Paradigma kritis
baru menjawab pertanyaan: struktur formasi sosial seperti apa yang sekarang
sedang bekerja. Ini baru sampai pada logika dan mekanisme working-sistem yang
menciptakan relasi tidak adil, hegemonik, dominatif, dan eksploitatif; namun
belum mampu memberikan prespektif tentang jawaban terhadap formasi sosial
tersebut; strategi mentransformasikannya; disinilah “Term Transformatif”
melengkapi teori kritis. Dalam perspektif Transformatif dianut epistimologi
perubahan non-esensialis. Perubahan yang tidak hanya menumpukan pada revolusi
politik atau perubahan yang bertumpu pada agen tunggal sejarah; entah kaum miskin
kota (KMK), buruh atau petani, tapi perubahan yang serentak yang dilakukan
secara bersama-sama.
Disisi lain makna
tranformatif harus mampu mentranformasikan gagasan dan gerakan sampai pada
wilayah tindakan praksis ke masyarakat. Model-model transformasi yang bisa
dimanifestasikan pada dataran praksis antara lain:
1. Transformasi dari
Elitisme ke Populisme.
Dalam model
tranformasi ini digunakan model pendekatan, bahwa mahasiswa dalam melakukan
gerakan sosial harus setia dan konsisten mengangkat isu-isu kerakyatan, semisal
isu advokasi buruh, advokasi petani, pendampingan terhadap masyarakat yang
digusur akibat adanya proyek pemerintah yang sering berselingkuh dengan
kekuatan pasar (kaum kapitalis) dengan pembuatan mal-mal, yang kesemuanya itu menyentuh
akan kebutuhan rakyat secara riil. Fenomena yang terjadi masih banyak mahasiswa
yang lebih memprioritaskan isu elit, melangit dan jauh dari apa yang
dikehendaki oleh rakyat, bahkan kadang sifatnya sangat utopis. Oleh
karena itu, kita sebagai kaum intelektual terdidik, jangan sampai tercerabut
dari akar sejarah kita sendiri. Karakter gerakan mahasiswa saat ini haruslah
lebih condong pada gerakan yang bersifat horisontal.
2. Transformasi dari
Negara ke Masyarakat.
Model tranformasi
kedua adalah transformasi dari Negara ke masyarakat. Kalau kemudian kita lacak
basis teoritiknya adalah kritik yang dilakukan oleh Karl Marx terhadap G.W.F.
Hegel. Hegel memaknai Negara sebagai penjelmaan roh absolute yang harus ditaati
kebenarannya dalam memberikan kebijakan terhadap rakyatnya. Disamping itu,
Hegel mengatakan bahwa Negara adalah satu-satunya wadah yang paling efektif
untuk meredam terjadinya konflik internal secara nasional dalam satu bangsa.
Hal ini dibantah Marx. Marx mengatakan bahwa justru masyarakatlah yang
mempunyai otoritas penuh dalam menentukan kebijakan tertinggi. Makna
transformasi ini akan sesuai jika gerakan mahasiswa bersama-sama rakyat
bahu-membahu untuk terlibat secara langsung atas perubahan yang terjadi
disetiap bangsa atau Negara.
3. Transformasi dari
Struktur ke Kultur.
Bentuk transformasi
ketiga adalah transformasi dari struktur ke kultur, yang mana hal ini akan bisa
terwujud jika dalam setiap mengambil keputusan berupa kebijakan-kebijakan ini
tidak sepenuhnya bersifat sentralistik seperti yang dilakukan pada masa orde
baru, akan tetapi seharusnya kebijakan ini bersifat desentralistik. Jadi,
aspirasi dari bawah harus dijadikan bahan pertimbangan pemerintah dalam
mengambil keputusan, hal ini karena rakyatlah yang paling mengerti akan
kebutuhan, dan yang paling bersinggungan langsung dengan kerasnya benturan
sosial di lapangan.
4. Transformasi dari
Individu ke Massa.
Model transformasi
selanjutnya adalah transformasi dari individu ke massa. Dalam disiplin ilmu
sosiologi disebutkan bahwa manusia adalah mahluk sosial, yang sangat membutukan
kehadiran mahluk yang lain. Bentuk-bentuk komunalitas ini sebenarnya sudah
dicita-citakan oleh para foundhing fathers kita tentang adanya
hidup bergotong royong. Rasa egoisme dan individualisme haruslah dibuang
jaung-jauh dari sifat manusia. Salah satu jargon yang pernah dikatakan oleh Tan
Malaka (Sang Nasionalis Kiri), adalah adanya aksi massa. Hal ini
tentunya setiap perubahan meniscayakan adanya power atau
kekuatan rakyat dalam menyatukan program perjuangan menuju perubahan sosial
dalam bidang apapun (ipoleksosbudhankam).
Paradigma Kritis Transformatif (PKT )
yang diterapkan di PMII?
Dari paparan diatas,
terlihat bahwa PKT sepenuhnya merupakan proses pemikiran manusia, dengan
demikian dia adalah sekuler. Kenyataan ini yang membuat PMII dilematis, karena
akan mendapat tuduhan sekuler jika pola pikir tersebut diberlakukan. Untuk
menghindari dari tudingan tersebut, maka diperlukan adanya reformulasi
penerapan PKT dalam tubuh warga pergerakan. Dalam hal ini, paradigma kritis
diberlakukan hanya sebagai kerangka berpikir dan metode analisis dalam
memandang persoalan. Dengan sendirinya dia tidak dilepaskan dari
ketentuan ajaran agama, sebaliknya justru ingin mengembalikan dan memfungsikan
ajaran agama sebagaimana mestinya.
PKT berupaya
menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan dari belenggu, melawan segala bentuk
dominasi dan penindasan, membuka tabir dan selubung pengetahuan yang munafik
dan hegemonik. Semua ini adalah pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam
Islam. Oleh karenanya pokok-pokok pikiran inilah yang dapat diterima sebagai
titik pijak penerapan PKT di kalangan warga PMII. Contoh yang paling kongkrit
dalam hal ini bisa ditunjuk pola pemikiran yang menggunakan paradigma kritis dari
beberapa intelektual Islam, diantaranya Hassan Hanafi dan Arkoun.
Mengapa PMII memilih Paradigma Kritis
Transformatif?
“Berpikir Kritis &
Bertindak Tansformatif” itulah Jargon PMII dalam setiap membaca tafsir sosial
yang sedang terjadi dalam konteks apapun. Dan ada beberapa alasan yang
menyebabkan PMII harus memiliki Paradigma Kritis Transformatif sebagai dasar
untuk bertindak dan mengaplikasikan pemikiran serta menyusun cara pandang dalam
melakukan analisa terhadap realitas sosial. Alasan-alasan tersebut adalah:
1. Masyarakat Indonesia
saat ini sedang terbelenggu oleh nilai-nilai kapitalisme modern, dimana
kesadaran masyarakat dikekang dan diarahkan pada satu titik yaitu budaya massa
kapitalisme dan pola berpikir positivistik modernisme.
2. Masyarakat Indonesia
adalah masyarakat majemuk/plural, beragam, baik secara etnis, tradisi, kultur
maupun kepercayaan (adanya pluralitas society).
3. Pemerintahan yang
menggunakan sistem yang represif dan otoriter dengan pola yang hegemonik (sistem
pemerintahan menggunakan paradigma keteraturan yang anti perubahan dan
pro status quo).
4. Kuatnya belenggu
dogmatisme agama, akibatnya agama menjadi kering dan beku, bahkan tidak jarang
agama justru menjadi penghalang bagi kemajuan dan upaya penegakan nilai
kemanusiaan.
Beberapa alasan
mengenai mengapa PMII memilih Paradigma Kritis Tansformatif untuk dijadikan
pisau analisis dalam menafsirkan realitas sosial. Karena pada hakekatnya dengan
analisis PKT mengidealkan sebuah bentuk perubahan dari semua level dimensi
kehidupan masyarakat (ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan
dll) secara bersama-sama. Hal ini juga tercermin dalam imagened
community (komunitas imajiner) PMII yang mengidealkan orientasi
out-put kader PMII yang diantaranya adalah : Intelektual Organik,
Agamawan Kritis, Profesional Lobbiyer, Ekonom Cerdas, Budayawan Kritis,
Politisi Tangguh, dan Praktisi Pendidikan yang Transformatif.
Proses Perubahan Sosial[1]
Ada tiga hal yang
berkenaan dengan proses perubahan sosial. Pertama, bagaimana ideas mempengaruhi
perubahan-perubahan sosial. Kedua, bagaimana tokoh-tokoh besar dalam sejarah
menimbulkan perubahan besar di tengah-tengah masyarakat. Ketiga, sejauh mana
peranan gerakan-gerakan sosial dan revolusi menimbulkan perubahan struktur
sosial dan norma-norma sosial.
Dalam Marxisme, yang
kita kenal sebagai materialisme sejarah (historical materialism), ada
anggapan bahwa yang merubah sejarah, masyarakat dan bangsa bukanlah ide atau
gagasan, tetapi tehnologi, struktur ekonomi, atau penggunaan alat-alat produksi.
Marx membagi struktur masyarakat ke dalam dua bagian: supratruktur dan
infrastruktur.
Yang termasuk
infrastruktur suatu kebudayaan misalnya, struktur ekonomi atau tehnologi
kebudayaan itu sendiri; sedangkan suprastrukturnya adalah ideologi, kepercayaan,
agama, ideas, belief, dan lain-lain. Menurut Marx,
suprastruktur ditentukan oleh infrastruktur. Ideologi akan sangat ditentukan
oleh ekonomi. Keadaan ekonomi misalnya akan menentukan kesadaran kelas; bukan
sebaliknya. Agama kita sangat ditentukan oleh posisi ekonomi kita
ditengah-tengah masyarakat. Versi-versi keberagaman kita sangat ditentukan oleh
letak kita didalam status sosial ekonomi. Apa yang dirumuskan Marx sebetulnya
merupakan antitesis dari; ideas akan menentukan sejarah.
Kekuatan sejarah akan
sangat ditentukan oleh ideas (gagasan-gagasan). Ideologilah
yang akan menentukan perubahan ekonomi, sistem sosial dan struktur politik.
Jika ideologi suatu masyarakat berubah, berubah pulalah infrastruktur
masyarakat itu. Berbeda dengan pandangan Marx, teori ini menganggap bahwa ideas-lah
yang paling menentukan prubahan sosial. Teori yang sekaligus menjadi kritik
terhadap Marx ini dikemukakan oleh Max Weber.
Suatu masyarakat
dikatakan mengalami perubahan sosial jika sistem sosial juga berubah. Jadi,
dalam perkembangan masyarakat itu, individu tidak berperan apa-apa. Mereka
hanyalah pion-pion kecil yang digerakkan oleh sistem sosial, politik dan
ekonomi. Dulu, para sosiolog melacak perubahan-perubahan masyarakat pada
perubahan-perubahan institusi; individu sama sekali tidak memegang peranan.
Sebagai contoh utamanya dalam tesis Marx. Namun Weber membalikkan pandangan itu
dengan mengatakan bahwa semua perubahan sosil dimulai dari perubahan tingkah
laku manusia, perubahan dari human actions, perubahan dari
tindakan-tindakan manusia yang ada di masyarakat. Karena itu, banyak ahli
menganggap Weber sebagai pendiri dari apa yang kita sebut sebagai sosiologi
humanis, sosiologi yang (kembali) menempatkan peranan manusia dalam
perubahan-perubahan sosial. Kalau kita bicara tentang rekayasa sosial, basis
teori yang kita pergunakan adalah humanist sociology, yakni
bahwa kita, sebagai manusia dapat mempengaruhi perubahan sosial. Berbeda dengan
Marx, Weber berpendapat bahwa superstruktur, soft belief system,
ideology adalah faktor yang sangat aktif dan efektif dalam mengubah
sejarah. Tesis Weber ini terbuksi dengan munculnya kapitalisme.
Kapitalis adalah
sebuah sistem sosial yang ditegakkan diatas dasar pencarian keuntungan dan
tindakan-tindakan rasional. Kata Max Weber,kapitalis adalah pengantar menuju
masyarakat modern. Bersamaan dengan lahirnya kapitalisme, lahir pula
institusi-institusi dan pengusaha-pengusaha baru yang independen. Pandangan
baru tentang pasar (market) juga mulai muncul ke permukaan. Menurut Weber,
sebagai sebuah sistem sosial, kelahiran kapitalisme di Eropa Barat dipengaruhi
oleh tindakan-tindakan manusia. Ada perubahan dalam tingkah laku manusia (human
actions) menjelang kelahiran kapitalisme. Ada sekelompok orang yang
perilakunya berbeda dengan kebanyakan orang pada zaman itu. Kapitalisme muncul
karena sekelompok orang—yang disebut Weber sebagai new
enterpreneur (pengusaha-pengusaha baru)—melakukan serangkaian tindakan
(human actions). Tindakan itu didasarkan pada semangat kapitalisme (spirit
of capitalism). Semangat kapitalisme terdiri dari tiga hal; motif
memperoleh laba (profit motive), hidup zuhud dan sederhana (ascetic
orientation) semangat misi (ideas of calling).
Masyarakat Industri[2]
Masyarakat baru yang
didasarkan atas cara berfikir yang rasional dan positif itu adalah masyarakat
industri. Kelahiran dan pertumbuhan industri telah menjadi gejala paling
menyolok dalam abad lampau. Industri itu dimengerti sebagai penyebab perubahan
sosial yang besar sekali. Raymond Aron, sarjana sosiologi pada Universitas
Sorbone di Paris, dalam bukunya Main Currens in Sociological Thought(1965)
meyebut enam ciri proses industrialisasi, yang disaksikan dalam abad ke-18 dan
ke-19, yaitu:
Pertama, industri merupakan
rasionalisasi proses kerja. Cara kerja ditinjau dan diatur kembali menurut
prinsip-prinsip ilmu pengetahuan positif dengan tujuan untuk menghasilkan out-put semaksimal
mungkin.
Kedua, penemuan-penemuan
dibidang ilmu alam, yang diterapkan dalam proses kerja, menghasilkan kemungkian
dan kemampuan tiba-tiba untuk mengolah dan menguasai sumber-seumber kekayaan
alam demi suatu kemakmuran yang tak ada bandingnya dalam sejarah.
Ketiga, berkembangnya industri
mengakibatkan konsentrasi kaum buruh di dekat pabrik dan tambang, serta
urbanisasi. Suatu kelas sosial baru lahir, yaitu kelas buruh, yang hidup dan
nasibnya tergantung dari orang lain.
Keempat, konsentrasi kaum buruh
itu di kawasan-kawasan industri mengakibatkan antagonisme (pertentangan)—yang
entah masih terpendam atau sudah terbuka—antara dua kelas sosial, yaitu kaum
proletar dan kaum bermodal.
Kelima, rasionalisasi metoda
kerja tadi membawa rejeki besar bagi sebagian kecil manusia, tetapi kemikinan
yang mencemaskan bagi banyak orang lain. Kemiskinan itu disebabkan oleh
produksi yang terlalu banyak (overproduction). Kemiskinan yang meluas
itu mengecutkan semua pihak, dan oleh pendukung zaman baru dilihat sebagai
tantangan dan ujian bagi akal-budi manusia.
Keenam, akhirnya muncul
liberalisme dibidang ekonomi dengan slogannya laissez faire, laissez
aller (biarlah orang berbuat sendiri, biarlah orang mencari jalan
sendiri). Setiap intervensi pemerintah dalam proses produksi ditolak dengan
berdalih bahwa dunia ekonomi adalah dunia otonom yang mempunyai hukumnya
sendiri dan sendiri mencari keseimbangan. Persaingan bebas harus diizinkan.[3]
Raymond Aron mencatat
bahwa optimisme Comte dan kepercayaannya akan masa depan membuat dia agak
meremehkan hal-hal negatif seperti antagonisme kelas dan kemiskinan kaum buruh.
Ia menilai itu sebagai akibat sampingan yang disebabkan oleh
kekurangan-kekurangan teknis. Mereka semantara saja! Masalah transisi! Ibarat
penyakit kanak-kanak yang dengan sendirinya akan dapat diatasi kelak pada
waktunya. Inti hakikat masyarakat industri ialah rasionalisasi metoda kerja,
konsentrasi kaum buruh secara besar-besaran, dan bertumpuknya modal besar dalam
tangan segelintir kecil orang. Comte membenarkan hak milik perseorangan atas
sarana-saran produksi, juga hak untuk megumpulkan kekayaan besar.
Hal-hal yang oleh
Comte dianggap pada dasarnya sehat dan progresif, kemudian akan dicela dan
ditolak oleh Karl Marx dan pengikutnya. Bagi mereka justru pertentangan kelas
dan pemilikan atas modal besar dan sarana produksi oleh individu merupakan
penyakit permanen dan kronis yang ada hubungan langsung dengan inti hakikat dan
sifat dasar sistem sendiri, yang mesti mengakibatkan kehancuran, Marx dan
pengikutnya pesimistis terhadap perkembangan masyarakat industri.
Filsafat Perubahan Sosial[4]
Dalam materialisme
dialektik, tindakan adalah yang pertama dan fikiran adalah yang kedua. Aliran
ini mengatakan bahwa tak terdapat pengetahuan yang hanya merupakan pemikiran
tentang alam; pengetahuan selalu dikaitkan dengan tindakan. Pada zaman dahulu,
menurut Marx, para filosof telah menjelaskan alam dengan cara yang berbeda-beda.
Kewajiban manusia sekarang adalah untuk mengubah dunia, dan ini adalah tugas
dan misi yang bersejarah dari kaum komunis. Dalam melakukan tugas ini, mereka
tidak ragu-ragu untuk mengambil tindakan dan menggunakan kekerasan guna
mencapai maksud mereka. Sesungguhnya,kebanyakanorang komunis percaya bahwa
kekerasan adalah perlu untuk menghilangkan kejahatan dari masyarakat.
Masyarakat, seperti
benda-benda lain, selalu dalam proses perubahan. Ia tidak dapat diam (statis)
karena meteri itu sedniri bergerak (dinamis). Akan tetapi perubahan atau proses
perkembangan itu tidak sederhana, lurus atau linear. Selalu
terjadi perubahan-perubahan yang kecil, yang tidak terlihat, dan kelihatannya
tidak mengubah watak benda yang berubah itu, sampai terjadilah suatu tahap
dimana suatu benda tidak dapat berubah tanpa menjadi benda lain. Pada waktu itu
terjadi suatu perubahan yang mendadak. Sebagai contoh, air dipanaskan
pelan-pelan, ia menjadi bertambah panas sedikit demi sedikit. Sampai akhirnya
secara mendadak, pada suatu tahap, ia menjadi uap, dan terjadilah perubahan
keadaan. Ada perkembangan yang lalu dari perubahan kuantitatif yang sangat
kecil dan tidak berarti, kemudian menjadi perubahan yang penting terbuka dan
kemudian menjadi perubahan kualitas; terjadi juga suatu perkembangan dimana
perubahan kualitatif terjadi dengan lekas dan mendadak, berupa suatu loncatan
dari suatu keadaan kepada keadaan yang lain.[5] Begitu
juga dalam hubungan ekonomi dari suatu masyarakat dan dalam pertarungan
kepentigan antara kelas, situasi revolusioner akan muncul. Jika ditafsirkan
dengan cara ini maka materialisme dialektik memberi dasar kepada perjuangan
kelas dan tindakan revolusioner.
Pada tahun 1848 Karl
Marx dan Freidrich Engels menerbitkan Manifesto Komunis, suatu
dokumen yang banyak mempengaruhi gerakan revolusioner. Akhirnya Karl Marx
menerbitkan karyanya yang besar, Das Kapital, Jilid pertama terbit pada tahu
1867. Marx membentuk interpretasi ekonomi tentang sejarah, dan interpretasi
tersebut telah berpengaruh kuat selama seratus tahun terakhir ini. Bagi Marx
faktor ekonomi adalah faktor yang menentukan dalam perkembangan sejarah
manusia. Sejarah digambarkan sebagai pertempuran kelas, dimana alat-alat
produksi, didistribusi dan pertukaran barang dalam struktur ekonomi dari
masyarakat menyebabkan perubahan dalam hubungan kelas, dan ini semua
mempengaruhi kebiasaan dalam tradisi politik, sosial, moral dan agama.
Terdapat lima macam
sistem produksi, empat macam telah muncul bergantian dalam masyarakat manusia.
Sistem kelima diramalkan akan muncul pada hari esok yang dekat, dan sekarang
sudah mulai terbentuk. Yang pertama adalah sistem komunisme
primitif. Sistem ini adalah tindakan ekonomi yang pertama dan mempunyai
ciri-ciri pemilikan benda secara kolektif, hubungan yang damai antar perorangan
dan tidak adanya tehnologi. Tingkat kedua adalah sistem
produksi kuno yang didasarkan atas perbudakan. Cirinya adalah timbulnya hal
milik pribadi, yang terjadi ketika pertanian dan pemeliharaan binatang
mengganti perburuan sebagai sarana hidup. Dengan lekas, kelompok aristokrat dan
kelas tinggi memperbudak kelompok lain. Pertarungan kepentingan timbul ketika
kelompok minoritas menguasai sarana hidup. Tingkatan ketiga adalah
tingkatan dimana kelompok-kelompok feodal menguasasi penduduk-penduduk.
Pembesar-pembesar feodal menguasai kelebihan hasil para penduduk yghanya dapat
hidup secara sangat sederhana.
Pada tingkatan keempat,
timbulah sistem borjuis atau kapitalis dengan meningkatnya perdagangan,
penciptaan dan pembagian pekerjaan; sistem pabrik menimbulkan industrialis
kapitalis, yang memiliki dan mengontrol alat-alat produksi. Si pekerja hanya
memiliki kekuatan badan, dan terpaksa menyewakan dirinya. Sebagai giliran
tangan menimbulkan masyarakat dengan pengusaha kapitalis.
Sejarah masyarakat
mulai pecahnya masyarakat primitif bersama adalah sejarah pertarungan kelas.
Selama seratus lima puluh tahun terakhir, kapitalisme industri dengan
doktrin self-interest(kepentingan diri sendiri)-nya telah membagi
masyarakat menjadi dua kelompok yang bertentangan: borjuis atau kelompok yang
memiliki dan proletar atau kaum buruh. Oleh karena kelas yang memiliki
menguasai lembaga-lembaga kunci dari masyarakat dan tidak mengizinkan perubahan
besar dengan jalan damai, maka jalan keluarnya adalah penggulingan kondisi
sosial yang ada dengan kekerasan.
Setelah revolusi,
menurut materialisme dialektik dan filsafat komunis, akan terdapat dua tingkat
masyarakat. Pertama tingkat peralihan, yaitu periode kediktatoran dari kaum
proletar. Dalam waktu tersebut orang mengadakan perubahan sosial yang
revolusioner, dan kelas-kelas masyarakat dihilangkan dengan dihilangkannya hak
milik pribadi terhadap sarana produksi, distribusi dan pertukaran (excange).
Tingkat kedua setelah revolusi adalah tingkat kelima dan tipe terakhir dari
sistem produksi. Itu adalah “masyarakat tanpa kelas” atau komunisme murni. Pada
tingkatan tersebut bentrokan dan eksploitasi akan telah selesai, dan semua
orang, pria dan wanita akan terjamin kehidupannya yang layak. Negara tidak lagi
menjadi alat kelas dan dialektik tidak berlaku lagi dalam masyarakat tanpa
kelas. Akan terdapat kemerdekaan, persamaan, perdamaian dan rizki pun melimpah.
Masyarakat akan menyaksikan realisasi kata-kata: dari setiap orang menurut
kemauannya, bagi setiap orang menurut kebutuhannya.
Kritik Teori Sosial Marx[6]
Diantara para
teoretikus Marx, barangkali Habermaslah orang yang paling tekun menelusuri
asal-usul teoretis dari Marxisme, sampai pada pikiran-pikiran sebelum Marx.
Sekilas usaha semacam ini tampaknya membuang-buang waktu, tetapi persis
sebenarnya disini letak ketajaman Habermas. Sebuah “hermeneutik” atas Marxisme
dapat mengembalikan pada maksud asli Marx sendiri sebagai seorang yang prihatin
terhadap situasi zamannya. Dengan cara itu Habermas menunjukkan mengapa teori
Marx itu menjadi semakin kritis pada zamannya. Dalam esainya, Between
Philoshopy and Science: Marxisme as Critique[7], “hermeneutik”
macam itu sungguh sangat menarik, bukan saja untuk mengetahui bagaimana
konsep Habermas tentang sebuah teori sosial yang kritis, tetapi juga darimana
teori Marx meraih sifat kritisnya.
Sudah jelas bagi
Habermas sendiri bahwa Marxisme yang dipertahankan terus dalam bentuk
ortodoknya[8] itu
sudah ketinggalan zaman. Karl Marx itu hidup pada zaman abad ke-19, saat
pesatnya industrialisasi dan mekanisme pasaran bebas. Itulah zaman kapitalisme
liberal. Zaman sekarang, abad ke-20 ini, kapitalisme sudah berkembang semakin
kompleks. Habermas menyebut tahap kapitalisme dewasa ini sebagai Spatkapitalismus atau
kapitalisme lanjut. Pada tahap ini, analisis-analisis Marx menjadi tidak relevan.
Habermas mengemukakan
empat alasan. Pertama, berbeda dari zaman kapitalis liberal
saat ekonomi menentukan kebijakan-kebijakan politis, dewasa ini, karena
intervensi negara ke pasar politik bukan lagi merupakan ”superstruktur”.
Pengandaian dasar Marx bahwa basis ekonomi menentukan superstruktur kesadaran
menjadi tidak relevan. Kedua, perkembangan standar hidup
dewasa ini sudah begitu jauh, sehingga revolusi sudah tidak bisa dikobarkan
lewat istilah-istilah ekonomi. Dewasa ini juga terjadi kompromi kelas-kelas
sosial, sehingga antagonisme kaum buruh dan kapitalis ala Marxisme itu juga
menjadi tidak relevan, sebab kecemburuan sosial tidak hanya dirasakan kaum
buruh, tapi juga kelas-kelas lain. Ketiga, karena itu, kaum
proletar tidak bisa dijadikan tumpuan harapan sebagai agen perubahan.
Perjuangan kelas pada taraf nasional sudah distabilkan, tetapi sebagai
gantinya, terjadi ketegangan global antar negara-negara kapitalis dan
komunis. Keempat, berdirinya raksasa Uni Soviet memadamkan
diskusi kritis mengenai Marxisme, sehingga Marxisme lambat laun kehilangan daya
tariknya sebagai ilmu.
Paradigma-paradigma
Sosiologi
Untuk
lebih mempertajam pemahaman dan seluk-beluk peta paradigma yang dapat digunakan
untuk memahami teori-teori perubahan sosial dan teori pembangunan, maka perIu
juga kita memetakan secara lebih luas paradigma dalam ilmu sosiologi. Untuk itu
dalam bagian ini dikemukakan dan disajikan peta paradigma sosiologi yang
dikembangkan oleh Burnell dan Morgan (1979). Burnell dan Morgan membuat suatu pemetaan
paradigma sosiologi yang dapat membantu kita untuk memahami 'cara pandang'
berbagai aliran dan teori ilmu-ilmu sosial. Mereka membantu memecahkan sumber
utama keruwetan peta teori ilmu sosial dengan mengajukan peta filsafat dan
teori sosial.[9] Secara sederhana mereka mengelompokkan teori
sosial ke dalam empat kunci paradigma. Empat paradigma itu dibangun atas
pandangan yang berbeda mengenai dunia sosial. Masing-masing pendirian dalam
kebenarannya dan melahirkan analisis tentang kehidupan sosial. Sejak tahun
1960-an sesungguhnya telah muncul berbagai aliran pemikiran sosiologi yang
dalam perkembangannya justru tidak membantu untuk memperjelas peta paradigma
sosiologi. Namun pada awal tahun 1970-an terjadi kebutuhan dalam perdebatan
sosiologi mengenai sifat ilmu sosial dan sifat masyarakat seperti halnya
terjadi pada tahun 1960-an. Untuk memecahkan kebuntuan itu mereka usulkan untuk
menggunakan kembali unsur penting dari perdebatan 1960-an, yakni cara baru
dalam menganalisis empat paradigma sosiologi yang berbeda. Empat paradigma itu
ialah: Humanis Radikal, srukturalis radikal, interpretatif dan
Fungsionalis. Keempat paradigma itu satu dengan yang lain memiliki pendirian
masing-masing, karena memang memiliki dasar pemikiran yang secara mendasar
berbeda.
Sifat
dan kegunaan empat paradigma tersebut adalah selain untuk memahami dan menganalisis
suatu praktik sosial, juga untuk memahami ideologi dibalik suatu teori sosial.
Paradigma sebagai anggapan-anggapan meta-teoretis yang mendasar yang menentukan
kerangka berpikir, asumsi dan cara bekerjanya teori sosial yang menggunakannya.
Di dalamnya tersirat kesamaan pandangan yang mengikat sekelompok penganut
teori mengenai cara pandang dan cara kerja dan batas-batas pengertian yang sama
pula. Jika ilmuwan sosial menggunakan paradigma tertentu, berarti memandang
dunia dalam satu cara yang tertentu pula. Peta yang digunakan di sini adalah
menempatkan empat pandangan yang berbeda mengenai sifat ilmu sosial dan sifat
masyarakat yang didasarkan pada anggapan-anggapan meta-teoretis. Empat
paradigma itu merupakan cara mengelompokkan kerangka berpikir seseorang dalam
suatu teori sosial dan merupakan alat untuk memahami mengapa
pandangan-pandangan dan teori-teori tertentu dapat lebih menampilkan sentuhan
pribadi dibanding yang lain. Demikian juga alat untuk memetakan perjalanan
pemikiran teori sosial seseorang terhadap persoalan sosial. Perpindahan
paradigma sangat dimungkinkan terjadi, dan hal ini sama bobotnya dengan pindah
agama. Misalnya, apa yang pernah terjadi pada Karl Marx yang dikenal Marx tua
dan Marx muda, yakni perpindahan dari humanis radikal ke strukturalis radikal
Perpindahan ini disebut epistemological break.
Paradigma
Fungsionalis
Paradigma
fungsionalisme sesungguhnya merupakan aliran pemikiran yang paling banyak
dianut di dunia. Pandangan fungsionalisme berakar kuat pada tradisi sosiologi
keteraturan. Pendekatannya terhadap permasalahan berakar pada pemikiran kaum
obyektivis. Pemikiran fungsionalisme sebenarnya merupakan sosiologi kemapanan,
ketertiban sosial, stabilitas sosial, kesepakatan, keterpaduan sosial, kesetiakawanan,
pemuasan kebutuhan, dan hal-hal yang nyata (empirik). Oleh karenanya, kaum
fungsionalis cenderung realis dalam pendekatannya, positivis, deterministis dan
nomotetis. Rasionalitas lebih diutamakan dalam menjelaskan peristiwa atau
realitas sosial. Paradigma ini juga lebih berorientasi pragmatis, artinya
berusaha melahirkan pengetahuan yang dapat diterapkan, berorientasi pada
pemecahan masalah yang berupa langkah-langkah praktis untuk pemecahan masalah
praktis juga. Mereka lebih mendasarkan pada "filsafat rekayasa sosial” (social
engineering) sebagai dasar bagi usaha perubahan sosial, serta menekankan
pentingnya cara-cara memelihara, mengendalikan atau mengontrol keteraturan,
harmoni, serta stabilitas sosial.
Paradigma
ini pada dasamya berusaha menerapkan metode pendekatan pengkajian masalah
sosial dan kemanusiaan dengan cara yang digunakan ilmu alam dalam memperlakukan
objeknya. Paradigma ini dimulai di Prancis pada dasawarsa pertama abad ke-19
karena pengaruh karya Comte, Spencer, Durkheim, dan Pareto. Aliran ini berasal
dari asumsi bahwa realitas sosial terbentuk oleh sejumlah unsur empirik nyata
dan hubungan antar semua unsur tersebut dapat dikenali, dikaji, diukur dengan
pendekatan dan menekankan alat seperti yang digunakan dalam ilmu alam.
Menggunakan kias ilmu mekanika dan biologi untuk menjelaskan realitas sosial
pada dasarnya adalah prinsip yang umumnya digunakan oleh aliran ini. Namun
demikian, sejak awal abad ke-20, mulai terjadi pergeseran, terutama setelah
dipengaruhi oleh tradisi pemikiran idealisme Jerman seperti pemikiran Max
Weber, Geroge Simmel dan George Herbet Mead. Sejak saat itu banyak kaum
fungsionalis mulai meninggalkan rumusan teoretis dari kaum objektivis dan mulai
bersentuhan dengan paradigma interpretatif yang lebih subjektif. Kias mekanika
dan biologi mulai bergeser melihat manusia atau masyarakat, suatu pergeseran
pandangan menuju para pelaku langsung dalam proses kegiatan sosial.
Pada
tahun 1940-an pemikiran sosiologi "perubahan radikal" mulai menyusupi
kubu kaum fungsionalis untuk meradikalisasi teori-teori fungsionalis.
Sungguhpun telah terjadi persentuhan dengan paradigma lain, paradigma
fungsonalis tetap saja secara mendasar menekankan pemikiran objektivisme dan
realitas sosial untuk menjelaskan keteraturan sosial. Karena persentuhan
dengan paradigma lain itu sebenarnya telah lahir beragam pemikiran yang berbeda
atau campuran dalam paham fungsionalis.
Paradigma
Interpretatif (Fenomenologi)
Paradigma
interpretatif sesungguhnya menganut pendirian sosiologi keteraturan seperti halnya
fungsionalisme, tetapi mereka menggunakan pendekatan objektivisme dalam
analisis sosialnya sehingga hubungan mereka dengan sosiologi keteraturan
bersifat tersirat. Mereka ingin memahami kenyataan sosial menurut apa adanya,
yakni mencari sifat yang paling dasar dari kenyataan sosial menurut pandangan
subjektif dan kesadaran seseorang yang langsung terlibat dalam peristiwa sosial
bukan menurut orang lain yang mengamati.
Pendekatannya
cenderung nominalis, antipositivis dan ideografis. Kenyataan sosial muncul
karena dibentuk oleh kesadaran dan tindakan seseorang. Karenanya, mereka berusaha
menyelami jauh ke dalam kesadaran dan subjektivitas pribadi manusia untuk
menemukan pengertian apa yang ada di balik kehidupan sosial. Sungguhpun
demikian, anggapan-anggapan dasar mereka masih tetap didasarkan pada pandangan
bahwa manusia hidup serba tertib, terpadu dan rapat, kemapanan, kesepakatan,
kesetiakawan. Pertentangan, penguasan, benturan sama sekali tidak menjadi
agenda kerja mereka. Mereka terpengaruh lansung oleh pemikiran sosial kaum
idealis Jerman yang berasal dari pemikiran Kant yang lebih menekankan sifat
hakikat rohaniah daripada kenyataan sosial. Perumus teori ini yakni mereka yang
penganut filsafat fenomenologi antara lain Dilttey, Weber, Husserl, dan Schutz.
Paradigma Humanis
Radikal
Para
penganut humanis radikal pada dasamya berminat mengembangkan sosiologi
perubahan radikal dari pandangan subjektivis yakni berpijak pada kesadaran
manusia. Pendekatan terhadap ilmu sosial sama dengan kaum interpretatif yaitu
nominalis, antipositivis, volunteris dan ideografis. Kaum humanis radikal
cenderung menekankan perlunya menghilangkan atau mengatasi berbagai pembatasan
tatanan sosial yang ada. Namun demikian, pandangan dasar yang penting bagi
humanis radikal adalah bahwa kesadaran manusia telah dikuasai atau dibelenggu
oleh supra struktur idiologis di luar dirinya yang menciptakan pemisah antara
dirinya dengan kesadarannya yang murni (alienasi), atau membuatnya dalam
kesadaran palsu (false consciousness) yang menghalanginya mencapai
pemenuhan dirinya sebagai manusia sejati. Karena itu, agenda utamanya adalah
memahami kesulitan manusia dalam membebaskan dirinya dari semua bentuk tatanan
sosial yang menghambat perkembangan dirinya sebagai manusia. Penganutnya
mengecam kemapanan habis-habisan. Proses-proses sosial dilibat sebagai tidak
manusiawi. Untuk itu mereka ingin memecahkan masalah bagaimana manusia bisa
memutuskan belenggu-belenggu yang mengikat mereka dalam pola-pola sosial yang
mapan untuk mencapai harkat kemanusiaannya. Meskipun demikian, masalah-masalah
pertentangan struktural belum menjadi perhatian mereka Paulo Freire misalnya
dengan analisisnya mengenai tingkatan kesadaran manusia dan usaha untuk
melakukan "konsientisasi", yang pada dasarnya membangkitkan
kesadaran manusia akan sistem dan struktur penindasan, dapat dikategorikan
dalam paradigma humanis radikal.
Paradigma
Strukturalis Radikal
Penganut
paradigma strukturalis radikal seperti kaum humanis radikal memperjuangkan
perubahan sosial secara radikal tetapi dari sudut pandang objektivisme.
Pendekatan ilmiah yang mereka anut memiliki beberapa persamaan dengan kaum
fungsionalis, tetapi mempunyai tujuan akhir yang saling berlawanan. Analisisnya
lebih menekankan pada konflik struktural, bentuk-bentuk penguasaan dan
pemerosotan harkat kemanusiaan. Karenanya, pendekatannya cenderung realis,
positivis, determinis, dan nomotetis.
Kesadaran
manusia yang bagi kaum humanis radikal penting, justru oleh mereka dianggap
tidak penting. Bagi kaum strukturalis radikal yang lebih penting justru
hubungan-hubungan struktural yang terdapat dalam kenyataan sosial yang nyata.
Mereka menekuni dasar-dasar hubungan sosial dalam rangka menciptakan tatanan
sosial baru secara menyeluruh. Penganut paradigma strukturalis radikal
terpecah dalam dua perhatian, pertama lebih tertarik pada menjelaskan bahwa
kekuatan sosial merupakan kunci untuk menjelaskan perubahan sosial. Sebagian
mereka lebih tertarik pada keadaan penuh pertentangan dalam suatu
masyarakat.
Paradigma
strukturalis radikal diilhami oleh pemikiran setelah terjadinya perpecahan
epistemologi dalam sejarah pemikiran Marx, di samping pengaruh Weber. Paradigma
inilah yang menjadi bibit lahirnya teori sosiologi radikal. Penganutnya antara
lain Luis Althusser, Polantzas, Colletti, dan beberapa penganut kelompok kiri
baru.
SUBYEKTIVIS
|
Keteraturan
Subyektivis
|
PARADIGMA
INTERPRETATIF (FENOMENOLOGI)
|
PARADIGMA
FUNGSIONALISME
|
Keteraturan
Obyektivis
|
OBYEKTIVIS
|
Pertentangan
Subyektivis
|
PARADIGMA
HUMANIS
RADIKAL
|
PARADIGMA
STRUKTURALIS
RADIKAL
|
Pertentangan
Obyektivis
|
Diagram 1
Peta
Analisis Sosial Barnel & Morgan (1979)
Globalisasi mau tidak
mau harus dilalui oleh seluruh negara di dunia ini. Hubungan antar negara
menjadi sedemikian penting pengaruhnya dalam mewujudkan kehidupan masin-masing
negara terlebih ketika era globalisasi tiba. Menjadi suatu keniscayaan apabila
sebuah negara harus bekerjasama dengan negara lain bahkan lebih ekstremnya lagi
memerlukan bantuan negara lain. Pola-pola hubungan antar negara menjadi bahasan
penting dalam membedah perubahan sosial yang terjadi saat ini.
Selain peran negara
lain (negara maju), perubahan sosial di negara-negara berkembang dipengaruhi
oleh organisasi internasional dan bahkan perusahaan multi nasional. Dominasi
negara maju dapat dilihat dari berbagai bantuan yang masuk ke nagara berkembang
atas nama modernisasi. Modernisasi diangap sebagai jalan untuk meraih kemajuan
negara berkembang. Organisasi internasional mempunyai peran yang hampir sama
dengan negara maju. Berbagai kesepakatan dan kebijakan yang dihasilkan
memberikan dampak yang sangat nyata bagi negara berkembang. Hal ini terjadi
karena memang organisasi internasional didominasi oleh negara maju.
Analisis Hubungan Antar Negara dan
Globalisasi
Ketidaksamaan menjadi
dasar pemikiran dalam mengulas pola relasi antar negara. Kita sadari bahwa
ketidaksamaan antar negara yang menyebabkan timbulnya pola-pola relasi
tertentu. Secara garis besar pembagian negara dapat dikategorikan dalam dua
kelompok besar, yaitu negara kaya dan miskin. Terdapat lima pola relasi antar
negara, yaitu sistem feodal, sistem campuran, sistem kelas, sistem egalitar dan
sistem plural.
Teori ala Barat
merupakan pandangan yang disampaikan oleh kelompok negara maju yang tidak
berideologi komunis. Bagi negara barat, hubungan antar negara menekankan pada
kemerdekaan politik masing-maising negara. Suatu keadaan yang menjadi prasyarat
lahirnya hubungan antar negara adalah tertib internasional. Peran lembaga
internasional semacam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menjadi sangat penting
untuk mewujudkan tertib hukum internasional.
Negara berkembang
harus melalui jalan yang disebut dengan modernisasi untuk mencapai tahap
kemajuan seperti halnya yang telah dijalani oleh negara maju. Negara maju
mempunyai tanggung jawab untuk membantu negara berkembang. Negara berkembang
menjadi sebuah sarana pertahanan ideologi bagi negara barat. Pertentangan
dengan negara komunis dalam penyebaran ideologi pada negara berkembang menjadi
alasan negara barat dalam membina hubungan harmonis dengan enagra berkembang.
Kubu negara komunis
juga mempunyai teori sendiri, walaupun secara nyata terdapat perbedaan antara
USSR dan RRC. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan ideologi dan kepentingan.
USSR melihat masyarakat dunia sebagai keseluruhan negara-negara, yang
kesemuanya tumbuh menjadi negara komunis. Tahap yang harus dilalui adalah; (1)
masyarakat primitif, (2) masyarakat feodal, (3) masyarakat kapitalis, (4)
masyarakat sosialis dan terakhir (5) masyarakat komunis.
USSR membedakan
negara-negara di dunia dalam tiga kelompok besar, yaitu negara sosialis, negara
imperialis dan negara koloni. Saat ini USSR sudah berada pada posisi yang
“sempurna” sehingga layak untuk menjadi pemimpin bagi negara lainnya. RRC
melihat bahwa negara-negara berkembang dalam posisi yang terjepit di
tengah-tengah persaingan antara USA dan USSR. Pandnagan RRC ini didasarkan pada
posisinya yang “merasa” sebagai bagian dari negara dunia ketiga.
Sebuah teori yang
menggambarkan adanya “derajat” suatu negara dikemukakan oleh Balandier dan
dikenal dengan teori stratifikasi sosial. Meskipun secara ideal posisi
masing-masing negara di dunia adalah sejajar, namun pada kenyataannya sungguh
bertolak belakang. Secara nyata kita dapat lihat adanya stratifikasi
berdasarkan ekonomi yang ditentukan oleh tingkat perkembangan teknologi dan
ekonomi, potensi ekonomi, tingkat perkembangan sosial ekonomi dan kemungkinan
untuk mengembangkan peluang ekonomi.
Akibat dari adanya
ketidaksamaan ini menimbulkan tiga pola hubungan, yaitu adanya upaya meniru
negara maju oleh negara berkembang untuk meraih kesejajarannya. Kemungkinan
kedua adalah negara yang mempunyai posisi sejajar saling bergabung dan berusaha
untuk memperbaiki atau mempertahankan posisinya. Terakhir, tibulnya pola relasi
patron klien antara negara berkembang dan negara maju.
Berangkat dari teori
stratifikasi sosial, muncullah teori perjuangan kelas. Kemungkinan yang diharapkan
terjadi adalah adanya kemauan untuk bergabung dan berkelompok antar negara yang
mempunyai posisi sejajar sehingga membentuk kelas. Konsekuensi dari teori ini
adalah akan timbulnya dua kelompok negara-negara di dunia, yaitu kelompok
negara maju dan kelompok negara berkembang.
Asumsi dasar teori
ketergantungan menganggap ketergantungan sebagai gejala yang sangat umum
ditemui pada negara-negara dunia ketiga, disebabkan faktor eksternal, lebih
sebagai masalah ekonomi dan polarisasi regional ekonomi global, dan kondisi
ketergantungan adalah anti pembangunan atau tak akan pernah melahirkan
pembangunan. Terbelakang adalah label untuk negara dengan kondisi teknologi dan
ekonomi yang rendah diukur dari sistem kapitalis. Frank adalah penyebar pertama
dependensi. Menurut Frank, modernisasi mengabaikan sejarah (ahistoris) karena
telah mengabaikan kenyataan hancurnya struktur masyarakat dunia ketiga. Frank
mengumpamakan hubungan hubungan negara-negara maju dengan negara dunia ketiga
sebagai rangkaian hubungan dominasi dan eksploitasi antara metropolis dengan
satelitnya. Lebih jauh Roxborough menyatakan bahwa terdapat peranan struktur
kelas di negara dunia ketiga yang juga berperan dalam hubungan dominasi
tersebut.
Santos menyatakan,
bahwa ada tiga bentuk keterantungan, yaitu: ketergantungan kolonial,
ketergantungan industri keuangan, dan ketergantungan teknologi industri. Pada
ketergantungan kolonial, negara dominan, yang bekerja sama dengan elit negara
tergantung, memonopoli pemilikan tanah, pertambangan, tenaga kerja, serta
ekspor barang galian dan hasil bumi dari negara jajahan.
Menurut Roxborough
teori imprealisme memberikan perhatian utama pada ekspansi dan dominasi
kekuatan imprealis. Imprealis yang ada pada abad 20 pertama-tama melakukan
ekspansi cara produksi kapitalis ke dalam cara produksi pra-kapitalis. Tujuan
ekspansi tersebut ke negara ketiga pada mulanya hanyalah untuk meluaskan pasar
produknya yang sudah jenuh dalam negeri sendiri, serta untuk pemenuhan bahan
baku. Namun, pada pekembangan lebih jauh, ekspansi kapitalis ini adalah berupa
cara-cara produksi, sampai pada struktur ekonomi, dan bahkan idelologi.
Struktur ketergantungan secara bertingkat mulai dari negara pusat sampai
periferi disampaikan oleh Galtung. Imprealisme ditandai satu jalur kuat antara
pusat di pusat dengan pusat di periferi.
Teori sistem dunia
masih bertolak dari teori ketergantungan, namun menjelaskan lebih jauh dengan
merubah unit analisisnya kepada sistem dunia, sejarah kapitalisme dunia, serta
spesifikasi sejarah lokal. Menurut Wallerstein, dunia ini cukup dipandang hanya
sebagai satu sistem ekonomi saja, yaitu sistem ekonomi kapitali. Negara-negara
sosialis, yang kemudian terbukti juga menerima modal kapitalisme dunia, hanya
dianggap satu unit saja dari tata ekonomi kapitalis dunia. Teori ini
berkeyakinan bahwa tak ada negara yang dapat melepaskan diri dari ekonomi
kapitalis yang mendunia. Usaha menginterpretasikan perkembangan historis
kapitalisme dilakukan oleh Wallerstein dalam sejarah global dunia. Ia memandang
kapitalisme sebagai suatu sistem dunia yang mempunyai pembagian kerja yang
kompleks secara geografis. Sebagaimana teori dependensi, teori sistem dunia
membagi sistem ekonomi kapitalis dunia menjadi pusat, semi pinggiran, dan
pinggiran.
Globalisasi budaya
menjadi bahan perhatian ketika sebagian ahli telah tersadar akan adanya
fenomena kontak, benturan dan konflik budaya. Fenomena ini terjadi ketika
kontak antara negara maju dan negara berkembang menjadi sedemikian kuatnya.
Kuatnya penetrasi budaya modern membawa konsekuensi semakin terpinggirkannya
budaya tradisional yang telah hidup berabad lamanya di negara berkembang.
Fenomena ini
melahirkan dua tanggapan yang saling bertentangan. Sebagian antropolog melihat
fenomena ini sebagai sebuahgejala imperialisme kebudayaan yang menimbulkan
bencana besar. Semakin lunturnya budaya tradisional mau tidak mau menjadi
sebuah akibat pasti dari kontak kebudayaan tersebut. Namun terdapat pandangan
lainnya yang menyatakan bahwa peradaban sekaligus kebudayaan barat dianggap lebih
baik dan bermartabat dibandingkan dengan kebudayaan tradisional. Anggapan ini
lahir ketika era kolonialisme dan imperialisme.
Saat ini budaya barat
berkembang dengan pesatnya di negara berkembang. Modernisasi yang dianggap
tidak ubahnya sebagai westernisasi telah menggerus budaya tradisional. Negara
maju dianggap memiliki kebudayaan yang lebih modern sehingga perlu ditiru oleh
negara berkembang. Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi menjadi
faktor yang semakin memperkuat penetrasi budaya barat pada budaya tradisional.
Menjadi sebuah ketidakadilan ketika arus pertukatan budaya hanya bersifat
searah, yaitu dar negara maju ke negara berkembang.
Telaah Tulisan Inglehart dan Seabrook
Modernisasi yang
menjadi pilihan untuk mencapai kemajuan oleh banyak negara berkembang telah
lama menimbulkan debat berkepanjangan. Dua kubu yang berhadapan adalah Marxian
dan Weberian. Kubu Marxian melihat bahwa pembangunan ekonomi, politik dan
budaya memiliki kesalingterkaitan karena pembangunan ekonomi menentukan karakteristik
sosial politik masyarakat. Pihak Weberian memberikan pandangan bahwa kebudayaan
membentuk kehidupan ekonomi dan politik. Walaupun keduanya bertentangan, namun
pada dasarnya mempunyai persamaan pendapat bahwa perubahan sosial ekonomi
mengikuti suaitu pola yang dapat diramalkan.
Hubungan antara
pembangunan ekonomi dan faktor ideologi menjadi bahan kajian Weber sehingga
melahirkan etika protestan dan semangat kapitalismenya. Weber melihat bahwa
pada wilayah Eropa yang mempunyai perkembangan industrial kapital pesat adalah
wilayah yang mempunyai penganut protestan. Bagi Weber, ini bukan suatu
kebetulan semata. Nilai-nilai protestan menghasilkan etik budaya yang menunjang
perkembangan industrial kapitalis. Protestan Calvinis merupakan dasar pemikiran
etika protestan yang menganjurkan manusia untuk bekerja keras, hidup hemat dan
menabung. Pada kondisi material yang hampir sama, industrial kapital ternyata
tidak berkembang di wilayah dengan mayoritas Katholik, yang tentu saja tidak
mempunyai etika protestan.
Modernisasi telah
membawa perubahan berupa sekulerisasi dan birokratisasi. Gejala ini terjadi di
beberapa negara maju seperti USA, eropa barat dan asia. Bentuk sekularisasi
dapat kita lihat dari semakin lunturnya nilai agama. Gerakan liberal serta demokrasi
seakan “menghalalkan” adanya fenomena gay, lesbian dan aborsi. Fenomena ini
sudah menjadi gejala yang umum dan mendapatkan banyak tantangan dari gereja
(ortodoks).
Lahirnya gerakan
fundamental agama, terutama Islam pada negara maju (kaya) seperti Iran dan
Libya tidak dapat dikatakan sebagai sebuah “anomali” modernisasi. Hal ini
dikarenakan Iran dan libya bukan merupakan negara maju hasil dari modernisasi.
Kemajuan (kekayaan) Iran dan Libya merupakan hasil dari kekayaan alam terutama
minyak yang melimpah dan bukan dari hasil industrialisasi via modernisasi.
Penurunan nilai tradisioanl mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan
pertumbuhan ekonomi. Hal inilah yang membedakan antara modenisasi dan
post-modernisasi. Post-modernisasi tidak berhubungan dengan pertumbuhan
ekonomi.
Seabrook mengungkapkan
beberapa aksi yang dilakukan oleh peraih Right Livelihood Award. Para penerima
penghargaan ini telah dianggap berjasa dalam memberikan tawaran solusi masalah
lingkungan, ketidakadilan sosial, pelanggaran HAM dan kemiskinan orang-orang
pribumi. Sebagai dampak globalisasi, negara berkembang semakin terperosok dalam
penderitaan dan lebuh tepatnya dapat dikatakan sebagai korban globalisasi via
modernisasi. Berbagai kebijakan yang diambil oleh negara maju melalaui
organisasi internasional seringkali ridak dapat menyentuh seluruh lapisan
masyarakat. Bantuan seringkali hanya dinikmati oleh kalangan elit di negara
berkembang.
Post-modernisme dapat
dikatakan sebagai bentuk perlawanan terhadap modernisme yang dianggap telah
banyak memberikan dampak negatif daripada positif bagi pembangunan di banyak
negara berkembang. Post-modernisme bukan hanya bentuk perlawanan melainkan
memberikan jawaban atau alternatif model yang dirasa lebih tepat.
Post-modernisme merupakan model pembangunan alternatif yang ditawarkan oleh
kalangan ilmuan sosial dan LSM. Isu strategis yang diusung antara lain anti
kapitalisme, ekologi, feminisme, demokratisasi dan lain sebagainya. Modernisme
dianggap tidak mampu membawa isu-isu tersebut dalam proses pembangunan dan
bahkan dianggap telah menghalangi perkembangan isu strategis itu sendiri.
Post-modernisme dinyatakan sebagai model pembangunan alternatif karena
memberikan penawaran konsep yang jauh berbeda dengan modernisme. Tekanan utama
yang dibawa oleh post-modernisme terbagi dalam tiga aspek, yaitu agen
pembangunan, metode dan tujuan pembangunan itu sendiri.
Pembangunan dengan
basis pertumbuhan ekonomi yang diusung oleh paradigma modernisme memiliki
banyak kekurangan dan dampak negatif. Pendekatan ini hanya menitikberatkan pada
pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan indikator GDP yang tidak mencerminkan
adanya pemerataan. Kesenjangan antar penduduk mungkin saja terjadi sehingga
indikator pertumbuhan ekonomi hanya mencerminkan keberhasilan semu saja. Akumulasi
modal yang berhasil dihimpun sebagian besar merupakan investasi asing yang
semakin memuluskan jalannya kapitalisme global.
Perkembangan paradigma
pembangunan alternatif sebagai bentuk kritik sekaligus perlawanan modernisme
semakin pesat seiring dengan semakin berkembangnya LSM baik dari kuantitas
maupun kualitas. Posisi tawar LSM yang semakin baik terhadap pemerintah
memberikan kontribusi berupa diterimanya ide-ide pembangunan yang selama ini
mereka dengungkan. Faktor yang kedua adalah meningkatnya kesadaran akan
pembangunan berkelanjutan yang peka terhadap isu ekologi. Modernisme selama ini
dianggap sebagai pembawa kerusakan lingkungan dengan industrialisasinya.
Pertumbuhan ekonomi yang meningkat ternyata diiringi pula oleh meningkatnya
kerusakan lingkungan. Kegagalan paradigma pembangunan yang menekankan pada
pertumbuhan ekonomi pada beberapa negara berkembang, terlebih setelah
terjadinya krisis moneter pada tahun 1990-an.
Penulis
|
Topik Kajian
|
Anit Analisis
|
Konsep Pokok
|
Variabel Perubahan
|
Schoorl
|
Perubahan
global
|
Makro
(hubungan antar negara)
|
Teori
barat, teori komunisme, teori stratifikasi sosial, teori perjuangan kelas,
teori ketergantungan, teori imperialisme.
|
Hubungan
antar negara, bantuan asing, ideologi, tingkat pertumbuhan ekonomi, demografi.
|
Sztompka
|
Perubahan
global dan dampak globalisasi
|
Makro
(hubungan antar negara)
|
Teori
imperialisme, teori ketergantungan, teori sistem dunia, globalisasi budaya.
|
Hubungan
antar negara, pergeseran budaya, bantuan asing, pertumbuhan ekonomi.
|
Inglehart
|
Perubahan
global dan dampak globalisasi
|
Meso
(negara)
|
Modernisasi
dan Post-modernisasi
|
Pergeseran
nilai, tingkat pertumbuhan ekonomi (GNP)
|
Seabrook
|
Dampak
globalisasi
|
Mikro
(komunitas atau masyarakat)
|
Pembangunan
berbasis lokalitas (”pemberdayaan”)
|
n/a
|
Sintesis
Perubahan pada tingkat
global dipengaruhi oleh pola hubungan antar negara. Negara berkembang cenderung
hanya sebagai “objek” perubahan yang dihasilkan oleh negara maju. Berbagai
teori yang menjelaskan hubungan antar negara memberi gambaran bahwa peran
negara maju dalam modernisasi menghasilkan gejala globalisasi. Globalisasi ini
yang meluluhlantakan nilai budaya tradisional.
Ketidakpuasan akan
modernisasi melahirkan pemikiran post-modernisasi yang mencoba menolak pengaruh
perkembangan ekonomi terhadap perubahan budaya. Berbagai pengalam telah
membuktikan bahwa perubahan di tingkat global tidak hanya dimonopoli oleh
negara maju saja, namun negara berkembang memiliki peran dalam perubahan global
tersebut. Munculnya ide pembangunan berbasisi lokalitas dapat dikatakan sebagai
bentuk perlawanan terhadap modernisasi ini. Keberhasilan pembangunan di tingkat
lokalitas diharapkan dapat membawa perubahan di tingkat global utamanya
mengurangi ketergantungan negara berkembang dengan negara maju.
Revolusi Sosial[11]
Revolusi adalah wujud
perubahan sosial paling spektakuler, sebagai tanda perpecahan mendasar dalam
proses historis; pembentukan ulang masyarakat dari dalam dan pembentukan ulang
manusia. Revolusi tak menyisakan apapun seperti keadaan sebelumnya. Revolusi
menutup epos lama dan membuka epos baru. Di saat revolusi, masyarakat mengalami
puncak agennya, meledakkan transformasi dirinya sendiri. Segera sesudah
revolusi, masyarakat dan anggota seperti dihidupkan kembali, hampir menyerupai
kelahiran kembali. Dalam artian ini revolusi adalah tanda kesejahteraan sosial.[12]
Dibandingkan dengan
bentuk perubahan sosial lain, revolusi berbeda dalam lima hal; (1) menimbulkan
perubahan dalam cakupan terluas, menyentuh semua tingkat dan dimensi
masyarakat: ekonomi, politik, kultur, organisasi sosial, kehidupan sehari-hari,
dan kepribadian manusia, (2) dalam semua bidang tersebut, perubahan radikal,
fundamental, menyentuh inti bangunan dan fungsi sosial, (3) perubahan yang
terjadi sangat cepat, tiba-tiba, seperti ledakan dinamit ditengah aliran lambat
proses historis, (4) dengan semua alasan itu, revolusi adalah pertunjukkan
perubahan paling menonjol; waktunya luar biasa cepat dan karena itu sangat
mudah diingat. Revolusi membangkitkan emosi khusus dan reaksi intelektual
pelakunya dan mengalami ledakan mobilisasi massa, antusiasme, kegemparan,
kegirangan, kegembiraan, optimisme dan harapan; perasaan hebat dan perkasa;
keriangan aktivisme; dan menggapa kembali makna kehidupan; melambungkan
aspirasi dan pandangan utopia masa depan.[13]
Konsep revolusi modern
berasal dari dua tradisi intelektual: filsafat sejarah dan sosiologi. Konsep
filsafat sejarah tentang revolusi berarti terobosan radikal terhadap
kontinuitas jalannya sejarah (Brinton 1965: 237). Perhatian ditujukan pada pola
umum proses sejarah dan revolusi menandai terobosan kualitatif pola umum ini.
Tokoh teori perkembangan sangat sering berasumsi demikian. Contoh khususnya
adalah pandangan Marx tentang rentetan formasi sosial-ekonomi dimana “revolusi
sosial” menandai lompatan kualitatif ke fase perkembangan lebih tinggi.[14]
Konsep sosial tentang
revolusi mengacu pada penggunaan gerakan massa atau acaman paksaan dan
kekerasan terhadap penguasa untuk melaksanakan perubahan mendasar dan
terus-menerus dalam masyarakat mereka. Pusat perhatian bergeser dari pola
menyeluruh, dari arah dan hasil akhir yang dipentingkan, ke agen penyebab,
mekanisme, dan skenario alternatif dari proses sosial yang berarti bahwa orang
digunakan untuk membentuk dan membentuk ulang sejarah. Revolusi dipandang
sebagai perwujudan terkuat kreativitas manusia yang dinyatakan dalam tindakan
kolektif disaat proses historis berada di titik kritis. Ini berarti pandangan
yang lebih bebas, yang menekankan pada agen dan peluang. Konsep ini lebih khas
digunakan dalam teori perubahan-sosial tokoh post-perkembangan kini. Tokoh ini
membuang gagasan “hukum besi” sejarah.[15]
Cerminan kedua tradisi
itu (filsafat sejarah dan sosiologi) terdapat dalam devibisi revolusi sekarang.
Definisi revolusi dapat digolongkan menjadi tiga kelompok[16];
(1) revolusi mengacu pada perubahan fundamental, menyeluruh dan
multidimensional, menyentuh inti tatanan sosial. Menurut pengertian ini,
perombakan sebagian dari hukum dan administrasi, penggantian pemerintahan dan
sebagainya tak terhitung sebagai revolusi, (2) revolusi melibatkan massa rakyat
yang besar jumlahnya yang dimobilisasi dan bertindak dalam satu gerakan
revolusioner. Dalam banyak kasus melibatkan pemberontakan petani (Jenkins 1982)
dan pemberontakan urban. Menurut pengertian ini, meski suatu gerakan dapat
menimbulkan perubahan paling dalam dan fundamental, tetapi jika dipaksakan oleh
penguasa dari atas (misalnya, restorasi Meiji di Jepang, revolusi Attaturk di
Turki, reformasi Nasser di Mesir, perestroika Ghorbachev) maka ia tak terhitung
sebagai revolusi. Begitu pula, meski terjadi perubahan fundamental, jika
ditimbulkan oleh kecenderungan sosial spontan, tak termasuk pengertian revolusi
(kecuali dalam kata kiasan ketika kita berbicara tentang revolusi tehnologi
atau ilmu pengetahuan, (3) Kebanyakan pakar yakin bahwa revolusi memerlukan
keterlibatan kekerasan dan penggunaan kekerasan.
Teori Utama Revolusi[17]
Berikut ini dibahas
empat aliran utama teori revolusi. Masing-masing adalah aliran: tindakan,
psikologi, struktural, dan politik.
Pertama, teori revolusi
tindakan. Teori revolusi modern pertama diajukan oleh Sorokin tahun 1925 (1967).
Kesimpulannya terutama didasarkan pada pengalaman revolusi Rusia 1917, tempat
ia berpartisipasi dan memerakan peran politik tertentu. Teorinya dapat dianggap
sebagai contoh pendekatan tindakan karena ia memusatkan perhatian pada tindakan
individu yang menandai revolusi (1967: 367). Penyebab tindakan menyeleweng itu
dicarinya dalam bidang kebutuhan dasar (naluri) individu. Pertunjukan tragedi
besar, drama dan tragedi revolusi di panggung sejarah, terutama dibawa oleh
naluri menindas bawaan (Ibid., h. 372). Revolusi ditandai oleh perubahan
mendasar ciri perilaku manusia. Perilaku beradab cepat dibuang dan digantikan
oleh perilaku seperti binatang buas yang hendak saling memangsa (Ibid.,
h. 372). Sorokin meneliti dan mencatat perubahan seperti itu di enam bidang:
(1) transformasi reaksi terhadap ucapan, (2) penyelewengan reaksi terhadap
pemilikan, (3) penyelewengan reaksi seksual, (4) penyelewengan reaksi terhadap
tugas, (5) penyelewengan reaksi terhadap kekuasaan dan bawahan, (6) reaksi
terhadap agama, moral, estetika dan berbagai bentuk perilaku yang dipelajari
lainnya (Ibid., h. 41-169). Berbagai bentuk penyelewengan ini
menghancurkan kepekaan naluriah. Orang bertindak tanpa menghiraukan kepatuhan,
disiplin, aturan, dan berbagai kriteria perilaku beradap lainnya. Manusia
berubah menjadi gerombolan buas manusia gila (Ibid., h. 367).
Kedua, teori revolusi
psikologi. Aliran psikologi mengabaikan bidang tindakan reflek atau nalurian
dasar dan beralih ke bidang orientasi sikap dan motivasi. Teori ini paling erat
kaitannya dengan pemikiran akal sehat (common sense). Karena itu tak
heran, teori itu paling populer dan paling rinci dari semua pendekatan yang
ada. Teori paling berpengaruh diajukan oleh James Davis (1962) dan Ted Gurr
(1970) dengan teori kerugian relatif. Revolusi disebabkan sindrom mental yang
menyakitkan yang tersebar di kalangan rakyat, diperburuk karena menjangkiti
banyak orang sehingga memotivasi perjuangan kolektif untuk meredakannya.
Ketiga, teori revolusi
struktural. Teori struktural memusatkan perhatian pada tingkat struktur makro
dengan mengabaikan faktor psikologi. Menurut teori ini revolusi adalah hambatan
dan ketegangan struktural dan terutama bentuk hubungan khusus tertentu antara
rakyat dan pemerintah. Penyebab revolusi lebih dicari ditingkat hubungan sosial
khusus, yakni dalam kondisi hubungan antar kelas dan antar kelompok (nasioal
dan internasional) ketimbang di kepala rakyat, dalam arti mentalitas atau sikap
mereka. Tokoh terkenal teori ini, Theda Skocpol, menyebutknya “perspektif struktural”
dengan maksud untuk lebih menekankan pada hubungan dan konflik obyektif yang
terjadi antar kelompok dan antar bangsa dalam revolusi tertentu (1979: 291).
Dengan mengutip Eric Hibsbawm, ia menyatakan: Pentingnya bukti peran
aktor dalam revolusi tak berarti bahwa mereka juga adalah pelaku, pencipta dan
perencananya. (Ibid., h. 18).
Dengan membandingkan
bukti historis revolusi Perancis, Rusia dan Cina, Skockpol mengahasilkan
analisis struktural umum tentang penyebab, proses dan hasil ketiga revolusi
itu. Revolusi itu ternyata mengikuti pola tiga tahap: (1) terjadi kehancuran
struktural dan krisis politik dan ekonomi dalam rezim lama. Mereka terjepit
dalam tekanan bersilang antara struktur kelas domestik dan kepentingan hubungan
internasional, penguasa otokrasi, administrasi sentral dan kekuatan militernya
tercerai-berai. Keadaan ini membuka jalan bagi transformasi revolusioner yang
dimulai dengan pemberontakan di bawah (Ibid., h. 47), (2) krisis rezim
membuka peluang pemberontakan petani dan atau buruh perkotaan. Kehancuran rezim
lama adalah perlu (necessary), tetapi tak cukup (sufficient)
untuk menyulut revolusi. Pemberontakan petani telah menjadi unsur huru-hara
penting dalam revolusi sosial hingga kini (Ibid., h. 112-13), tetapi
revolusi hanya dapat terjadi dalam kondisi kehancuran politik sebelumnya.
Melemahnya kemampuan menindas dari pemerintah yang sebelumya bersatu dan
terpusatlah yang akhirnya menciptakan kondisi yang secara langsung menyebabkan,
atau yang pada akhirnya menguntungkan bagi, meluasnya pemberontakan petani
menentang tuan tanah (Ibid., h. 117), (3) tema revolusi utama selama
tahap ketiga ini adalah bidang politik yakni, konsolidasi ulang, penataan
ulang, dan penyatuan ulang pemerintah dan administrasinya oleh elit politik
baru yang mulai berkuasa setelah berhasil menyingkirkan rezim lama. Revolusi
hanya dapat diwujudkan dengan sempurna segera setelah organisasi negara yang
baru (administrasi dan militer) dikoordinasikan oleh eksekutif yang memerintah
atas nama simbol revolusi yang dibentuk ditengah-tengah konflik situasi
revolusioner (Ibid., h. 163). Keunikan teori Skockpol adalah
penekanannya pada faktor politik dan hubungan internasional. Baik itu
terciptanya situasi revolusioner maupun wujud rezim baru yang muncul dari
konflik revolusioner itu, keduanya pada dasarnya tergatung pada struktur
organisasi negara, derajat otonominya dan hubungan dinamis dengan kelas-kelas
dan kekuatan politik dalam negeri serta posisinya dalam hubungan dengan negara
lain (Ibid., h. 284). Ia memprediksi: Dalam revolusi dimasa
mendatang, seperti di masa lalu, bidang kehidupan negara tetapi akan menjadi
pusat perhatian (Ibid., h. 293).
Teor struktural pun
dituduh berat sebelah dan mengabaikan psikologi individual. Teori jelas
memusatkan perhatian pada kondisi dan dampak struktural, mengabaikan
keseluruhan proses kompleks yang terjadi diantara keduanya. Ketika massa rakyat
diorganisir dan dimobilisasi oleh pemimpin yang melakukan revolusi. Skockpol
lupa bahwa manusia yang berfikir dan bertindak itu (meski dengan sembrono)
merupakan mata rantai yang menghubungkan antara kondisi struktural dan hasil
sosialnya. Kondisi struktural tak bisa menentukan secara mutlak tentang apa
yang akan dilakukan manusia. Kondisi struktural semata meletakkan batas
tertentu terhadap tindakan manusia atau menetapkan sederetan peluang (Kommel,
et. al., 1981: 1153). Pesan kritik yang diperoleh dari analisis struktural,
sama dengan yang dikemukakan sebelumnya: memerlukan pendekatan sistesis atau
multidimensional. Skockpol lebih melihat analisis struktural dan voluntaris
sebagai saling bertentangan ketimbang sebagai dua unsur penting dari
penjelasan sosiologis yang lengkap (Ibid., h. 1154).
Keempat, teori revolusi
pendekatan politik. Pendekatan ini melihat revolusi sebagai sifat fenomena politik
yang muncul dari proses yang khusus terjadi dibidang politik. Revolusi dilihat
sebagai akibat pergeseran keseimbangan kekuatan dan perjuangan memperebutkan
hegemoni antara pesaing untuk mengendalikan negara (Aya, 1979: 49). Contoh yang
baik dari pemikiran serupa itu dikemukakan oleh Tilly (1978). Ia yakin revolusi
bukanlah fenomena luar biasa, kekecualian atau penyimpangan tetapi justru
kelanjutan proses politik dengan cara lain. Artinya, berbagai proses politik
normal dimana berbagai kelompok berupaya mewujudkan tujuannya dengan merebut
kekuasaan. Revolusi adalah bentuk ekstrim pertikaian untuk mengontrol politik.
Revolusi hanya akan terjadi bila pesaing mampu memobilisasi sumber daya secara
besar-besaran yang diperlukan untuk merebut kekuasaan dari rezim lama
(Goldstone, 1982: 193). Kondisi lebih luas untuk menempatkan revolusi secara
konseptual, disebut “model negara”. Ini adalah seperangkat unsur yang saling
berhubungan, diantaranya: “pemerintah” yakni organisasi yang mengontrol cara
utama penggunaan paksaan terhadap rakyat. “Pesaing” yakni kelompok yang selama
periode tertentu menghimpun sumber daya untuk mempegaruhi pemerintah. Pesaing
ini mencakup penantang dan anggota (aparatur) negara. Anggota adalah pesaing
yang memiliki akses murah untuk mendapatkan sumber daya yang dikendalikan
pemerintah. Penantang adalah pesaing lainnya (Tilly, 1978: 52). Memobilisasi
kekuatan revolusioner terjadi dikalangan penantang yang tak mempunyai cara
lembaga dan yang sah untuk mewujudkan kepentingan mereka. Mobilisasi berarti
peningkatan sumber daya yang berada dibawah kontrol kolektif penantang atau
peningkatan derajat kontrol kolektif (Ibid., h. 5). Mobilisasi adalah
syarat tindakan kolektif untuk mencapai tujuan akhir besama. Revolusi adalah
bentuk tindakan kolektif khusus yang dibedakan oleh kondisi khusus (situasi
revolusioner). Ciri terpenting situasi revolusioner adalah “kedaulatan ganda”
atau dengan kata lain pelipatgandaan pemerintah yang sebelumnya dibawah kotrol
tunggal kemudian menjadi sasaran persaingan antara dua atau lebih kekuatan yang
berbeda. Situasi ini akan berakhir bila kontrol atas pemerintahan diraih
kembali oleh kekuasaan tunggal (Ibid., h. 191). Rakyat dihadapkan
sekurangnya pada dua pusat kekuasaan dengan kepentingan yang bertentangan:
pemerintah terdahulu dan yang menentang. Dalam hal ini ada empat jenis situasi
politik: (1) sebagai taklukan, jika suatu negara berdaulat menaklukan negara
berdaulat yang lain, (2) ketika sebuah negara taklukan menyatakan
kemerdekaannya (misalnya, sebuah koloni yang tunduk kepada kekuasaan asing).
Pola dasar situasi ini adalah pemberontakan anti kolonial atau pemberontakan
nasional, (3) ketika penantang memobilisasi dan mendapatkan kontrol atas
sebagian aparatur negara, (4) ketika negara terpecah menjadi dua blok atau
lebih, masing-masing blok mendapat sebagian kontrol atas pemerintahan (Ibid.,
h. 191-2). Revolusi meledak jika sebagian besar rakyat mengalihkan kesetiaan
mereka ke pusat kekuasaan tandingan. Revolusi menang bila pengalihan kekuasaan
benar-benar terjadi dan perangkat pemegang kekuasaan digantikan oleh yang lain.
Revolusi besar bersifat ekstrim dalam dua hal: kekuasaan terbelah dua
dan terjadi pergantian besar-besaran aparatur negara.[]
[1] Jalaluddin Rakhmat, Rekayasa
Sosial; Reformasi atau Revolusi (Bandung: Remaja Rosdakarya, Cet. I.,
1999) h. 103-106.
[2] Veeger, Realitas
Sosial; Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu dalam Cakrawala Sejarah
Sosiologi (Jakarta: Gramedia, Cet. IV., 1993) h. 26-27.
[3] Raymond Aron, Main
Currens in Sociological Thought, 2 Jilid-1965 (Anchor Book
Edition 1968) h. 83-84. dalam Veeger, Realitas Sosial; Refleksi
Filsafat Sosial atas Hubungan Individu dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi (Jakarta:
Gramedia, Cet. IV., 1993) h. 26-27.
[5] Joseph Stalin, Dialectical
and Historical Materialism (New York: International Publisher, 1950)
h. 8.
[10] Disadur dari makalah, Proses
Perubahan Sosial dalam Konteks Global, Slamet Widodo (Tahun 2008).Rujukan
tulisan: Inglehart, R. 1995. Changing Values, Economic Development
and Political Change. International Social Sciences Journal no. 145.
September 1995. Schoorl, J.W. 1980. Modernisasi; Pengantar Sosiologi
Pembangunan Negara-Negara Sedang Berkembang. Jakarta. PT. Gramedia.
Seabrook, J. 1998. Para Perintis Perubahan. Jakarta. Yayasan obor
Indonesia. Sztompka, P. 1994. The Sociology of Social Change.
Oxford. Blackwell Publisher.
[11] Piotr Sztompka, Sosiologi
Perubahan Sosial, Judul Asli: The Sociology of Social Change, Penerjemah:
Alimandan (Jakarta: Prenada, Cet. III., 2007) h. 357-379.
[17] Piotr Sztompka, Sosiologi
Perubahan Sosial, Judul Asli: The Sociology of Social Change, Penerjemah:
Alimandan (Jakarta: Prenada, Cet. III., 2007) h. 366-373.
0 Response to "PARADIGMA KRITIS TRANSFORMATIF"
Post a Comment